Ticker

7/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menurut Pandangan Islam, Penerima BANSOS yang Bukan Haknya, Jatuhnya Haram

 

Gambar Ilustrasi Penerima Bansos. @Kompas TV


MAJALAHJURNALIS.Com - Bantuan sosial atau bansos bagi masyarakat prasejahtera tentu adalah sebuah kabar baik. Hal ini menjadi angin segar bagi mereka.
 
Apalagi bila bansos hadir dalam situasi dimana harga bahan-bahan pokok melambung tinggi. Hati mereka tentu akan sangat lega mendapatkannya.
 
Sebab, kebutuhan dasar untuk beberapa hari ke depan sudah tak perlu diambil pusing. Namun saat jumlah bansos yang diterima mulai menipis, bagaimana kehidupan mereka selanjutnya, jika bahan pangan pokok tetap tinggi?
 
Bantuan Sosial Menurut Pandangan Islam
 
Islam memandang bantuan sosial untuk masyarakat dhuafa sebagai sebuah kewajiban. Apalagi jika bantuan tersebut berbentuk kebutuhan pokok, seperti uang tunai, bahan pangan, atau layanan pendidikan dan kesehatan.
 
Hal ini bisa kita lihat dalam Al-Qur’an surah Al-Ma’idah. Di sana, Allah Swt menyeru hamba-Nya untuk saling membantu dengan niat yang baik.
 
Perlu diingat bahwa bantuan sosial hanya wajib diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
 
Apabila orang yang mampu secara ekonomi menerima bansos, maka hukumnya menjadi haram. Dapat diartikan pula bahwa apabila orang mampu tersebut menikmati bansos, maka ia mengambil dan mengonsumsi barang haram.
 
Pijakan Hukum Bansos
 
Memberi bantuan sosial kepada yang membutuhkan dapat diartikan sebagai kegiatan tolong-menolong di dalam Islam. Allah SWT menganjurkan umatnya untuk saling tolong menolong kepada umat manusia tanpa melihat suku, ras, dan agama apa pun. Hal itu sesuai dengan firman-Nya dalam ayat berikut:
 
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
 
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah (5): 2)
 
Melalui ayat tersebut, Allah mengajarkan manusia untuk berbuat kebaikan dengan cara menolong sesama manusia. Pasalnya, perilaku ini akan menjadi fondasi untuk membangun kerukunan antarumat.
 
Selain ayat Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW juga menerangkan kebermanfaatan dari perbuatan saling tolong-menolong, dalam hal ini memberikan bantuan sosial kepada mereka yang sedang kesulitan. Hal itu terungkap dalam hadis berikut:
 
“Dari Abu Hurairah ia berkata: ‘Rasulullah Saw bersabda: ‘Barang siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan di dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa memberi kelonggaran kepada orang yang susah, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutupi aib dia di dunia dan di akhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama hambanya menolong saudaranya’.” (HR. Muslim)
 
Melalui hadis tersebut, Rasulullah mengajarkan manusia untuk saling memberikan pertolongan di antara mereka. Seseorang yang memberikan bantuan dan berujung pada meringankan beban orang lain, artinya ia telah menjalankan kebaikan. Tak hanya itu, ia juga akan mendapatkan pertolongan dari Allah atas semua masalahnya. Dan Allah akan menyelamatkan orang itu dari beragam kesusahan yang menyinggahi hidupnya, baik itu di dunia maupun di akhirat. Seperti yang telah Allah firmankan dalam Al-Qur’an surah Muhammad berikut:
 
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ
 
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad (47): 7)
 
Sistem Bansos dalam Islam
 
Bagi sistem ekonomi Islam, peranan pemerintah terhadap perekonomian warganya sangatlah penting. Peran tersebut antara lain seperti mengatur sistem distribusi kekayaan individu dan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam, hingga mengintegrasikan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Islam, pemerintah yang baik adalah pemerintah yang fokus pada kesejahteraan masyarakatnya secara adil dan merata. Salah satu indikator pemerintah yang baik adalah pemerintah yang memberikan jaminan kepada seluruh masyarat untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar.
 
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat telah dicontohkan oleh Rasulullah. Pada zamannya, Rasul memberikan bantuan sosial kepada masyarakat melalui Baitulmal, rumah atau wadah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta yang akan diberikan kepada masyarakat dhuafa dalam bentuk bantuan sosial. Bantuan pun tak hanya diberikan dalam bentuk materi, tetapi juga bantuan seperti menyediakan lapangan pekerjaan bagi yang mampu bekerja.
 
Bentuk bansos di setiap zaman pun terus berkembang. Mulai dari zaman Nabi Saw, zaman khalifah, hingga zaman sekarang. Perkembangan tersebut bisa dilihat dari sistem, penerima, hingga muncul berbagai bentuk program bansos seperti hari ini. Ini menunjukkan bahwa bansos fleksibel menyesuaikan dengan era yang sedang berlangsung. Hal ini tidak bertentangan dengan prinsip Islam, karena Islam hanya memberikan konsep mendasar saja.
 
Meski begitu, ada satu hal yang masih relevan di zaman Nabi Saw dan perlu dicontoh oleh para pemegang kekuasaan di era sekarang, yakni pembentukan lembaga khusus yang bertugas mengawasi bansos. Lembaga tersebut bertanggung jawab untuk mengatur, mendata, hingga mendistribusikan langsung bansos. Pengawasan bantuan sosial di zaman Rasulullah Saw dan para khalifah dilakukan oleh pemerintah guna menghindari kezaliman, sehingga kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.
 
Dalam konteks bansos di Indonesia, pemerintah bertanggung jawab untuk bertindak secara benar dan aman. Kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah juga merupakan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat luas. Pemerintah punya kuasa atas wilayah yang dipimpin, sehingga mereka wajib melakukan yang terbaik untuk melindungi masyarakat, seperti yang telah Allah firmankan dalam Al-Qur’an surah Al-Muddattsir berikut:
 
كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌۙ
 
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatsir (74): 38)
 
Indikator Masyarakat Miskin dalam Islam
 
Telah jelas di awal bahwa bantuan sosial hanya diberikan kepada mereka yang membutuhkan, yakni fakir dan miskin. Allah Swt juga telah memberikan petunjuk tentang indikator masyarakat yang dapat dikatakan miskin lewat Al-Qur’an, seperti berikut:
 
“Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. Thaha (20): 118-119)
 
Melalui ayat tersebut, dapat diartikan bahwa seseorang yang disebut miskin adalah mereka yang dihadapkan dengan kesulitan untuk bisa mendapatkan kebutuhan dasar, sandang dan pangan. Sementara, kemiskinan dalam pandangan Islam adalah tentang upaya mereka orang-orang yang kaya untuk merawat, membela, dan melindungi orang miskin.
 
Bansos Bukan Hanya Soal “Memberi”, Tetapi Juga Memberdayakan
 
Dalam pandangan Islam, perlu digarisbawahi bahwa bantuan sosial bukan hanya soal memberi uang tunai dan bahan pokok. Lebih jauh dari itu, Rasulullah Saw telah mengajarkan bahwa memberikan bantuan sosial kepada masyarakat dhuafa juga soal membantu mereka mandiri dan berdaya. Sehingga, kehidupan mereka bisa menjadi lebih baik, lebih mandiri, dan akhirnya dapat berkontribusi dalam membangun kehidupan keluarga dan masyarakat setempat.
 
Di zamannya, Rasulallah Saw telah mencontohkan pengikutnya untuk membangun kepedulian terhadap sesama, terutama kepada mereka yang lemah secara ekonomi.
 
“Dari Annas bin Malik bahwa seorang laki-laki dari kalangan Anshar datang kepada Nabi Saw meminta kepada beliau, kemudian beliau bertanya: ‘Apakah di rumahmu terdapat sesuatu?’
 
Ia berkata: ‘Ya, alas pelana yang kami pakai sebagianya dan kami hamparkan sebagianya, serta gelas besar yang kami gunakan untuk minum air.’
 
Beliau berkata: ‘Bawalah keduanya kepadaku.’ Annas berkata: ‘Kemudian ia membawanya kepada Nabi, lalu beliau mengambil dengan tangannya dan berkata: ‘Siapakah yang mau membeli kedua barang ini?’ Seorang laki-laki berkata: ‘Saya membelinya dengan satu dirham.’
 
Beliau berkata: ‘Siapa yang menambah lebih dari satu dirham?’ Beliau mengatakanya dua atau tiga kali. Seorang laki-laki berkata: ‘Saya membelinya dua dirham.’ Kemudian beliau memberikanya kepada orang tersebut, dan mengambil uang dua dirham.
 
Beliau memberikan uang tersebut kepada orang Anshar tersebut dan berkata: ‘Belilah makanan dengan satu dirham kemudian berikan kepada keluargamu, dan belilah kapak kemudian bawalah kepadaku.’
 
Kemudian orang tersebut membawanya kepada beliau, lalu Rasulallah SAW mengikatkan kayu pada kapak tersebut denga tangannya kemudian berkata kepadanya: ‘Pergilah kemudian carilah kayu dan juallah. Jangan sampai aku melihatmu selama lima belas hari.’
 
Kemudian orang tersebut pergi dan mencari kayu serta menjualnya, lalu datang dan ia telah memperoleh uang sepuluh dirham. Kemudian ia membeli pakaian dengan sebagiannya dan makanan dengan sebagiannya.
 
Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Ini lebih baik bagimu daripada sikap meminta-minta datang sebagai noktah di wajahmu pada hari kiamat. Sesungguhnya sikap meminta-minta tidak layak kecuali tiga orang, yaitu fakir dan miskin, atau orang yang memiliki utang sangat berat, atau orang yang menanggung diyah, dan ia tidak mampu membayarnya’.” (HR. Abu Dawud)
 
Hal yang bisa kita petik dari hadis di atas adalah Nabi Saw mengupayakan pemberdayaan dengan menjadikan orang miskin dari kalangan Anshar memiliki keahlian, dalam hal ini berdagang kayu. Dengan keahliannya, ia bisa memiliki kehidupan jauh lebih baik dan terlepas dari kemiskinan. Model pemberdayaan yang dilakukan Rasul adalah dengan memaksimalkan potensi orang tersebut. Hal ini juga telah diterapkan oleh Dompet Dhuafa sebagai lembaga kemanusiaan yang berkhidmat pada kesejahteraan masyarakat dhuafa.
 
Di era ini, kemiskinan di Indonesia masih terus menjadi perhatian. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat dhuafa mutlak untuk terus dilakukan. Berhenti melakukannya sama dengan membiarkan kemiskinan terus tumbuh. Ini bukan hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi semua orang yang berdaya punya kewajiban untuk memberdayakan orang-orang lemah di sekitarnya. Orang yang melakukan pemberdayaan kepada masyarakat lemah berarti telah mengaplikasikan sikap peduli yang menjadi bagian penting dari ajaran Islam.
Sumber : Dompet Duafa

Post a Comment

0 Comments