MAJALAHJURNALIS.Com - Saat ini, dalam ruang lingkup
pertanahan di Indonesia, dikenal dua bentuk sertipikat hak atas tanah, yaitu
sertipikat analog dan sertipikat elektronik. Sertifikat analog adalah sertifikat
yang pada umumnya sudah ada di tengah-tengah masyarakat dan berbentuk buku,
terdiri dari lembaran data yang dijahit, memuat data fisik dan data yuridis
terhadap objek hak atas tanah. Sementara itu, sertifikat tanah elektronik hanya
berupa satu lembar yang disebut sebagai lembar secure paper dengan spesifikasi
khusus yang disediakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional (ATR/BPN). Pemerintah Indonesia telah
mengambil langkah strategis dengan menginisiasi peralihan sertifikat hak atas
tanah dari bentuk fisik analog menjadi bentuk elektronik. Kebijakan ini awalnya
diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional (Permen ATR/BPN) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik.
Namun, aturan tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Penerbitan Dokumen Elektronik
Dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah. Pergantian regulasi ini menandai langkah
lanjut dalam upaya pemerintah untuk memastikan bahwa kebijakan digitalisasi
tanah ini dapat diimplementasikan secara lebih efektif dan komprehensif. Peralihan sertifikat hak
atas tanah ke bentuk elektronik menawarkan banyak keuntungan, seperti
pengurangan birokrasi, peningkatan kecepatan layanan, dan pengurangan risiko pemalsuan
sertifikat. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada bagaimana
pemerintah mengelola transisi tersebut. Salah satu aspek yang perlu mendapat
perhatian serius adalah kemudahan proses peralihan bagi masyarakat. Proses ini
harus dirancang agar sederhana dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat,
termasuk mereka yang berada di daerah terpencil atau yang tidak terbiasa dengan
teknologi digital. Transparansi dan
kesetaraan dalam biaya peralihan juga menjadi isu krusial. Pemerintah harus
memberikan kejelasan mengenai struktur biaya yang harus dibayarkan oleh
masyarakat dalam rangka peralihan sertipikat hak atas tanah dari bentuk analog
ke bentuk elektronik. Kesetaraan biaya ini harus dijamin agar tidak memberatkan
masyarakat, terutama mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi. Pemerintah
perlu memastikan bahwa tidak ada biaya tambahan yang memberatkan yang dikenakan
kepada masyarakat dalam proses ini. Informasi mengenai biaya tersebut harus
disosialisasikan dengan jelas dan transparan sehingga tidak menimbulkan
kebingungan atau kesalahpahaman. Dalam konteks
implementasi, diketahui bahwa Kantor Pertanahan yang telah ditetapkan sebagai
pilot project untuk menyelenggarakan penerbitan Sertifikat Elektronik wajib
melaksanakan dengan penuh tanggungjawab atas pelayanan kepada masyarakat.
Setiap kantor yang menjadi percontohan harus siap memberikan layanan terbaik
dan memastikan bahwa proses transisi berjalan lancar tanpa hambatan yang
berarti bagi masyarakat. Target awal dari kebijakan
sertifikat elektronik ini adalah untuk diterapkan terlebih dahulu pada
aset-aset negara atau pemerintah. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa
beberapa kota dan kabupaten telah menyelenggarakan sertipikasi elektronik untuk
aset-aset yang dimiliki oleh perorangan atau badan hukum. Perlu dipastikan
bahwa penerapan ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan kesiapan yang
matang agar tidak menimbulkan kesulitan bagi masyarakat yang menjadi subjek
kebijakan. Masyarakat juga harus
memahami bahwa untuk saat ini, terhadap permohonan pendaftaran hak atas tanah
untuk pertama kali maupun pemeliharaan data pendaftaran tanah (seperti jual
beli, hibah, dan lain sebagainya), terdapat dua ketentuan. Pertama, apabila
sertipikat tanah belum diterbitkan secara elektronik, maka buku tanah dan
sertipikat analog akan dibubuhi stempel "tidak berlaku lagi" dan
diterbitkan dalam bentuk sertifikat hak atas tanah elektronik. Kedua, apabila
sertifikat tanah sudah berbentuk elektronik, maka untuk edisi tersebut akan
dinyatakan tidak berlaku dan diterbitkan edisi baru sertipikat elektronik. Notaris, PPAT, Perbankan
atau pemegang hak atas tanah juga perlu memahami adanya Lembar Pencatatan.
Lembar ini terpisah dari lembaran sertifikat tanah elektronik dan digunakan sebagai
lembar informasi terhadap adanya catatan yang terjadi pada sertifikat hak atas
tanah tersebut. Misalnya, lembar pencatatan perjanjian sewa, perjanjian
pengikatan jual beli, pencatatan hak tanggungan dan lain-lain. Kantor
Pertanahan diharapkan melakukan sosialisasi secara masif agar masyarakat
mengetahui jenis dan produk-produk yang akan dimiliki setelah dilakukan alih
media dari sertifikat analog menjadi sertifikat elektronik. Kantor Pertanahan juga
harus memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang panduan dalam membaca data
dan informasi yang ada di sertipikat tanah elektronik. Data yang tercantum
dalam sertifikat tersebut sangat terbatas, mengingat hanya satu lembar,
dibandingkan dengan sertipikat analog sebelumnya yang berbentuk buku atau lembaran
yang dijahit. Pemahaman yang baik tentang cara membaca sertifikat elektronik
akan membantu masyarakat merasa lebih nyaman dan yakin terhadap keamanan dan
keakuratan data yang tercatat. Proses peralihan dari
sertifikat analog menjadi sertifikat elektronik akan melalui tahapan validasi
data guna memastikan keakuratan surat ukur elektronik dan buku tanah
elektronik. Aktivitas yang dilakukan oleh kantor pertanahan tersebut kemudian
dibedakan menjadi dua. Pertama, sertifikat yang telah selesai divalidasi dan
dapat dialihkan menjadi sertipikat tanah elektronik. Kedua, sertifikat yang
memerlukan penataan batas, yang berarti harus dilakukan pengukuran dan
peninjauan ulang batas-batas yang ada di lokasi oleh kantor pertanahan. Hal ini
penting agar disosialisasikan dengan baik dan benar, karena tidak semua
masyarakat paham konsekuensi yang terjadi bahwa tanah mereka harus melalui
proses penataan batas. Kejelasan mengenai waktu dan biaya yang timbul akibat
penataan batas tersebut juga harus diberikan. Berdasarkan informasi yang
ada pada aplikasi Sentuh Tanahku, proses pengukuran untuk mengetahui luas tanah
disampaikan dalam waktu 12 hari kerja. Dari segi biaya, perlu adanya
sosialisasi terhadap komponen biaya apa saja yang lahir akibat adanya penataan
batas tersebut. Pasal 84 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah hanya
menjelaskan bahwa penyelenggaraan pelaksanaan pendaftaran tanah dapat dilakukan
secara elektronik, sehingga belum menjadi suatu kewajiban. Pada pasal
selanjutnya juga dinyatakan bahwa penerapan pendaftaran tanah secara elektronik
dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan sistem elektronik
yang dibangun oleh kementerian. Dari perspektif hukum,
regulasi yang mengatur peralihan ini harus mematuhi asas legalitas dan
kepastian hukum. Regulasi harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan interpretasi yang beragam dan potensi sengketa di kemudian hari.
Perlindungan data pribadi juga harus menjadi prioritas utama, mengingat sertifikat
hak atas tanah mengandung informasi sensitif yang harus dijaga dari potensi
penyalahgunaan. Pemerintah juga perlu
meningkatkan literasi digital masyarakat untuk mendukung transisi ini. Edukasi
dan pelatihan mengenai penggunaan teknologi dan proses administrasi elektronik
harus digalakkan, sehingga masyarakat dapat beradaptasi dengan perubahan ini.
Dengan kebijakan yang matang dan pelaksanaan yang transparan, peralihan ini
tidak hanya akan meningkatkan efisiensi administrasi pertanahan tetapi juga
menjadi bagian penting dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
lebih transparan, efisien dan modern. Sebagai bangsa yang terus berkembang,
adopsi teknologi dalam pengelolaan hak atas tanah merupakan keniscayaan untuk
menuju masa depan yang lebih baik. Mari kita kawal bersama
transisi sertifikat tanah elektronik ini. Sinergi antara pemerintah,
masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan sangat penting untuk memastikan
bahwa proses ini berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan kesulitan bagi
masyarakat. Dengan kerjasama yang baik, kita dapat mewujudkan sistem pertanahan
yang lebih efisien, aman dan transparan untuk masa depan Indonesia. (Penulis
adalah Notaris, PPAT, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia)
0 Comments