MAJALAHJURNALIS.Com - Persoalan Buruh
di Indonesia selalu menjadi perbincangan hangat, sebab mayoritas penduduk di
Indonesia adalah pekerja yang notabene buruh dalam arti skala luas. Pertumbuhan
penduduk yang semakin pesat tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang
merata, maka sangat berdampak kepada kehidupan sehari-hari. Tentunya yang
sangat terasa sekali adalah penduduk yang hidup dibawah rata-rata penghasilan
normal, sehingga mereka harus dituntut untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan
hidup yang pada akhirnya banyak yang putus sekolah sehingga hanya sebatas
memegang status tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajatnya. Berdasarkan
temuan dilapangan, bahwa standart tamatan (SMA) itulah yang selalu menerima
apapun konsekwensinya disaat diterima diperusahaan tempat ia mulai bekerja,
sebab berbekal ilmu seadanya tanpa skill yang mempuni dan dituntut keharusan
untuk bekerja guna kelangsungan hidup, maka seketika itu keadilan buruh (Kenyaman
bekerja dan gaji) dipertaruhkan. Akibatnya ia menerima
apa adanya walaupun gaji atau honornya itu dibawah UMR (Upah Menimun Regional). Padahal untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari saja, seperti kebutuhan anak dan istri serta harus membayar
sewa rumah, listrik dan air, maka gaji UMR saja tak cukup memenuhinya, maaf
katanya hanya cukup untuk sampai dipertengahan bulan saja. Yang menjadi
pertanyaan, lalu bagaimana pula ada buruh pabrik atau Buruh ditempat lainnya yang
gajinya dibawah UMR atau dibawah gaji Rp.100 ribu/hari? Apa cukup? Jawabnya
ada pada rumput yang bergoyang. Itu kata Ebiet G Ade dalam syair lagunya,
karena ini sudah menjadi Misteri. Jadi soal tuntutan
buruh terhadap penomena hidup saat ini, yang selalu kurang mendapat respon dari
Pengusaha tempat ia bekerja atau dari Pemerintah tempat ia mengadu. Dikarenakan
segala sesuatunya karena adanya kepentingan dengan dalil pejabat, ‘Kita
bersyukur ditempat kita ada Pabrik tempat kita bekerja,” Silahkan artikan
sendiri. Mengapa?
Jawabnya dikarenakan Buruh itu masih berjalan sendiri-sendiri walaupun sudah
ada organisasi buruh tempat ia berlindung. Akan tetapi itu belum cukup, sebab
di gedung Parlemen tidak ada perwakilan buruh yang sebenarnya. Taukah
kita! Atau rekan-rekan Buruh lupa, bahwa
Pengusaha, Pemerintah, TNI-Polri dan Sipil, itu semua wajib menjalankan atau
melaksanakan Undang-Undang hasil karya Pemerintah dan DPR. Bagaimana
jikalau tak satupun perwakilan buruh ada digedung Parlemen (DPR). Seperti Partai
Buruh yang wujudnya adalah orang-orang Buruh asli dipilih dan diwakilkan
digedung DPR, bukan berasal dari orang-orang politikus, negarawan atau mantan
ASN ataupun mantan pejabat penguasa yang pensiun dan calon Legislatif lainnya. Mengapa harus
orang buruh asli? Karena Ia yang mengetahui persis tentang apa yang terjadi
kepada nasib buruh selama ini. Yang kita
ketahui selama ini perwakilan kita di Parlemen, banyak badut-badut politik
bertopengkan Buruh. Alhasilnya....setelah duduk lupa deh.... Buruh tertipu
lagi. Ketika berorasi menentang kebijakan terhadap UU Perburuhan maupun
kebijakan pemerintah lainnya, maka wakil kita yang bukan dari Partai Buruh
hanya berkata, “Kami sudah cukup berusaha!” itulah jawaban pemungkas yang
sebenarnya sudah tutup mata dan telinga. Perlu kita
ingat! Partai yang bukan berasal dari Partai Buruh juga mempunyai
kepentingan-kepentingan Partai. Jadi hanya sebagian kecil saja, keinginan Buruh
tercapai. Dampaknya, terjadi Demontrasi menentang ini dan menentang itu. Salah
siapakah ini? Mengapa kita
tidak berkaca kepada negara luar, negara yang parlemennya mayoritas dikuasai
Partai Buruh seperti Polandia, Korea Utara dan masih banyak lagi negara lainnya,
bahwa Partai Buruh sangat dominan dan menguasai kursi di Parlemen. Faktanya,
hak-hak buruh terpenuhi dan banyak buruh yang makmur dengan gaji sangat Fantastis
sementara buruh di Indonesia banyak yang bekerja serabutan guna memenuhi
kebutuhan yang kurang didapatnya dari ia bekerja disalah satu pabrik. Perwakilan Partai
Buruh di DPR sangat diperlukan guna mendongkrak taraf hidup Buruh menjadi layak
hidup. Selama ini tanpa
kita sadari, Buruh selalu dijadikan objek sengketa guna mencari makan tambahan.
Teriak hidup buruh !!! Buruh memang hidup, karena buruh adalah manusia yang
masih hidup, yang tak hidup adalah penghasilannya yang tak cukup, dibawah
rata-rata. Dalam berjuang,
ini seperti mata rantai besi, saling mengikat dan saling membutuhkan. Pekerja (Buruh),
Organisasi Buruh dan Partai Buruh adalah satu mata rantai yang saling mengikat.
Apabila ini kuat, maka Buruh akan menjadi makmur di negaranya sendiri, jadi
tidak perlu lagi menjadi TKI dan TKW. Tak perlu lagi
berdemontrasi menentang ini dan itu yang selalu mengganggu bagi pengguna jalan
raya. Selain kita (Buruh) mau hidup, yang lain juga mau hidup guna mencari
nafkah. Akan tetapi
perlu juga diketahui, apabila niat itu sudah digaungkan, maka selalu saja
datang oknum yang mempropagandakan masalah ini agar niat itu tidak terlaksana. Karena apa? Karena
pada saat ini mempermasalahan Buruh itu adalah pekerjaan yang mengasyikkan
kemungkinan juga ada untung-untungannya. Terimakasih semoga karya tulisan OPINI
ini bermanfaat bagi pembaca. (Penulis adalah Wakil Ketua Umum DPW PPMI – Persaudaraan
Pekerja Muslim Indonesia Provinsi Sumatera Utara, juga menjabat sebagai Devisi
Advokasi di Perkumpulan JMI Sumut – Jurnalis Media Independent Sumatera Utara
dan juga sebagai Pemimpin Perusahaan di PT. Majalah Jurnalis Grup dan Pemimpin
Redaksi di Majalah Jurnalis cetak dan online)
0 Komentar