![]() |
Ilustrasi
Berdoa. ©2022 Merdeka.com/pixabay |
MAJALAHJURNALIS.Com - Shalat adalah ibadah wajib dalam agama Islam dan telah diatur ketentuan-ketentuannya. Shalat berada dalam urutan kedua rukun Islam, segera setelah pengucapan syahadat, membuatnya penting untuk dilakukan dengan benar.
Meski demikian, tak bisa dipungkiri
bahwa masih banyak umat Islam yang belum mempraktikkan tata cara shalat dengan
sempurna. Salah satu penyebabnya adalah manhaj (cara) beribadah umat Muslim
masih bercabang-cabang, membuat orang menjadi ikut-ikutan.
Sehingga, penting untuk mengetahui dan
mempelajari tata cara shalat yang benar agar diterima oleh Allah SWT. Jalan
untuk hal ini adalah mengetahui apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW,
mengenali sifat shalat Nabi dengan mengkaji
hadits-hadits; baik sabda, keteladanan dari perbuatan beliau, maupun
persetujuan beliau pada perbuatan para sahabat.
Sifat Shalat Nabi oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Melalui bukunya yang berjudul Sifat
Shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
berupaya mengumpulkan hadits-hadits tentang tata cara shalat Nabi Muhammad
SAW. Kemudian, hadits-hadits tersebut disarikan dan disederhanakan sehingga
membentuk suatu gambaran tata cara shalat Nabi Muhammad SAW secara simpel namun
utuh.
Mengutip laman almanhaj.or.id,
berikut ringkasan sifat shalat nabi oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani yang disebut di atas;
Sifat Shalat Nabi Pertama:
Menghadap ke Kabah
1. Kaum
Muslim yang ingin menunaikan shalat, hendaknya menghadap ke Ka’bah (qiblat) di
manapun berada. Hal ini berlaku baik saat mengerjakan shalat fardhu maupun
shalat sunnah, sebab hal ini termasuk di antara rukun-rukun shalat dan shalat
yang ditunaikan bisa menjadi tidak sah tanpa rukun ini.
2. Meski
demikian, ketentuan menghadap qiblat tidak menjadi keharusan bagi ‘seseorang
yang sedang berperang’ pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk
dahsyat.
Tidak
menjadi keharusan pula untuk menghadap qiblat bagi orang yang tidak sanggup
seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat.
Sama halnya bagi orang yang shalat sunnah atau witir padahal ia tengah
menunggangi hewan atau kendaraan lainnya.
Namun,
tetap dianjurkan kepada mereka jika memungkinkan untuk berusaha menghadap ke
qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah
manapun kendaraannya menghadap.
3. Wajib
bagi yang melihat Ka’bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi
4. Apabila
shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah
melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.
5. Apabila
datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu
memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap
ke arah yang ditunjukkan, dan shalatnya sah.
Sifat
Shalat Nabi Kedua: Berdiri
6. Wajib
bagi orang-orang untuk melaksanakan shalat dengan berdiri, dan ini adalah
rukun, kecuali bagi: (1) Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan
hebat, maka dibolehkan baginya shalat diatas kendaraannya; (2) Orang yang sakit
yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk dan bila tidak
mampu diperkenankan sambil berbaring; dan (3) Orang yang shalat nafilah (sunnah)
dibolehkan shalat di atas kendaraan atau sambil duduk jika dia mau, adapun
ruku’ dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya, demikian pula orang yang
sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.
7. Tidak
diperbolehkan bagi orang yang shalat sambil duduk untuk meletakkan sesuatu yang
agak tinggi dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan
sujudnya lebih rendah dari ruku’nya apabila ia tidak mampu meletakkan dahinya
secara langsung ke bumi (lantai).
8. Dibolehkan
shalat fardlu di atas kapal laut demikian pula di pesawat.
9. Dibolehkan
juga shalat di kapal laut atau pesawat sambil duduk bila khawatir akan jatuh.
10. Boleh juga saat berdiri bertumpu
(memegang) pada tiang atau tongkat karena faktor ketuaan atau karena badan yang
lemah.
11. Dibolehkan shalat lail sambil
berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur (penyebab apapun), atau sambil
melakukan keduanya. Caranya; ia shalat membaca dalam keadaan duduk dan ketika
menjelang ruku’ ia berdiri lalu membaca ayat-ayat yang masih tersisa dalam
keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku’ lalu sujud. Kemudian ia melakukan hal
yang sama pada rakaat yang kedua.
12. Apabila shalat dalam keadaan
duduk, maka ia duduk bersila atau duduk dalam bentuk lain yang memungkinkan
seseorang untuk beristirahat.
13. Boleh shalat tanpa memakai sandal
dan boleh pula dengan memakai sandal.
14. Tapi yang lebih utama, sesuaikan
dengan yang lebih gampang dilakukan saat itu alias tidak membebani diri dengan
harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan jika kebetulan
telanjang kaki maka boleh-boleh saja shalat dengan kondisi seperti itu, dan
bila kebetulan memakai sandal maka boleh juga shalat sambil memakai sandal.
Kecuali dalam kondisi tertentu (terpaksa).
15. Jika kedua sandal dilepas maka tidak
boleh diletakkan disamping kanan akan tetapi diletakkan disamping kiri. Atau,
bisa juga diletakkan diletakkan di depan kakinya, hal yang demikianlah yang
sesuai dengan perintah dari Nabi SAW.
16. Dibolehkan bagi imam untuk shalat
di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan tujuan mengajar manusia. Imam
berdiri di atas mimbar lalu takbir, kemudian membaca dan ruku’ setelah itu
turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah di depan mimbar,
lalu kembali lagi keatas mimbar dan melakukan hal yang serupa di rakaat
berikutnya.
17. Wajib shalat menghadap tabir
pembatas, baik di masjid maupun selain masjid, berdasarkan kepada keumuman
sabda Nabi SAW yang artinya: "Janganlah
shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan biarkan seseorang lewat dihadapanmu,
apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya ia bersama pendampingnya."
(Maksudnya syaitan).
18. Wajib mendekat ke pembatas karena
Nabi SAW memerintahkan hal itu.
19. Jarak antara tempat sujud Nabi
dengan tembok yang dihadapinya seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa
yang mengamalkan hal itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang
diwajibkan.
20. Adalah wajib pembatas dibuat agak
tinggi dari tanah barang sejengkal atau dua jengkal berdasarkan sabda Nabi SAW
yang artinya: "Jika
seorang diantara kamu meletakkan dihadapannya sesuatu setinggi ekor pelana
(sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang
yang lewat dibalik pembatas."
21. Dan ia menghadap ke pembatas
secara langsung, karena hal itu yang termuat dalam konteks hadits tentang
perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun bergeser dari posisi
pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus menghadap langsung
ke pembatas maka hal ini tidak sah.
22. Boleh shalat menghadap tongkat
yang ditancapkan ke tanah atau yang sejenisnya, boleh pula menghadap pohon,
tiang, atau isteri yang berbaring di pembaringan sambil berselimut, boleh pula
menghadap hewan meskipun unta.
23. Namun tidak boleh shalat menghadap
ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi maupun selain nabi.
24. Tidak boleh lewat didepan orang
yang sedang shalat jika didepannya ada pembatas, dalam hal ini tidak ada
perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid lain, semua sama dalam hal
larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW yang artinya; "Andaikan orang yang lewat
didepan orang yang shalat mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri
selama 40, lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang
shalat." Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat
sujudnya.
25. Tidak boleh bagi orang yang shalat
menghadap pembatas membiarkan seseorang lewat di depannya berdasarkan hadits
yang artinya: "Dan
janganlah membiarkan seseorang lewat didepanmu…." Dan ada pula
sabda Nabi SAW yang berarti: "Jika
seseorang di antara kamu shalat menghadap sesuatu pembatas yang menghalanginya
dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat didepannya, maka hendaklah ia
mendorong leher orang yang ingin lewat itu semampunya (dalam riwayat lain:
cegahlah dua kali) jika ia enggan maka perangilah karena ia adalah syaithan."
26. Boleh maju selangkah atau lebih
untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat di depannya seperti hewan atau
anak kecil agar tidak lewat di depannya.
27. Di antara fungsi pembatas dalam
shalat adalah menjaga orang yang shalat menghadapnya dari kerusakan shalat
disebabkan yang lewat di depannya, berbeda dengan yang tidak memakai pembatas,
shalatnya bisa terputus bila lewat didepannya wanita dewasa, keledai, atau
anjing hitam.
Sifat
Shalat Nabi Ketiga: Membaca Niat
28. Bagi yang hendak shalat, harus
meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta menentukan niat dengan
hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur dan ashar. Niat
ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat dengan lisan
merupakan bid’ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada seorangpun yang menfatwakan
hal itu di antara para ulama yang dotokohkan oleh orang-orang yang suka taqlid
(fanatik buta).
Sifat Shalat Nabi Ke Empat:
Mengucap Takbir
29. Kemudian mulailah shalat dengan
membaca. “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar). Takbir ini merupakan rukun,
berdasarkan sabda Nabi SAW yang artinya: "Pembuka Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir,
sedangkan penghalalannya adalah salam."
30. Tidak boleh mengeraskan suara saat
takbir di seluruh shalat, kecuali jika menjadi imam.
31. Boleh bagi muadzin menyampaikan
(memperdengarkan) takbir imam kepada jama’ah jika keadaan menghendaki, seperti
jika imam sakit, suaranya lemah atau karena banyaknya orang yang shalat.
32. Ma’mum tidak boleh takbir kecuali
jika imam telah selesai takbir.
33. Mengangkat kedua tangan, boleh
bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya, bahkan boleh sesudah takbir.
Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam sunah Nabi.
34. Mengangkat
tangan dengan jari-jari terbuka.
35. Menyejajarkan kedua telapak tangan
dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu mengangkat lebih tinggi lagi sampai sejajar
dengan ujung telinga.
36. Kemudian, letakkan tangan kanan di
atas tangan kiri sesudah takbir. Ini merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi
dan diperintahkan oleh Nabi SAW kepada para sahabat beliau, sehingga tidak
boleh menjulurkannya.
37. Meletakkan tangan kanan diatas
punggung tangan kiri dan diatas pergelangan dan lengan.
38. Kadang-kadang menggenggam tangan
kiri dengan tangan kanan.
39. Keduanya diletakkan diatas dada
saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal tersebut sama.
40. Tidak meletakkan tangan kanan di
atas pinggang.
41. Hendaklah berlaku khusu’ dalam
shalat dan menjauhi segala sesuatu yang dapat melalaikan dari khusu’ seperti
perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat berhadapan dengan hidangan yang
menarik, demikian juga saat menahan berak dan kencing.
42. Memandang
ke tempat sujud saat berdiri.
43. Tidak menoleh kekanan dan kekiri,
karena menoleh adalah curian yang dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang
hamba.
44. Tidak boleh mengarahkan pandangan
ke langit (ke atas).
45. Kemudian membuka bacaan dengan
sebagian do’a-do’a yang sah dari Nabi SAW yang jumlahnya banyak, di mana yang
paling terkenal adalah: "Subhaanaka
Allahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta’alaa jadduka, walaa ilaha
ghaiyruka." Artinya: "Maha
Suci Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, kedudukan-Mu sangat agung, dan
tidak ada sembahan yang hak selain Engkau."
46. Wajib berlindung kepada Allah
Ta’ala, dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa.
47. Termasuk juga sunnah jika
sewaktu-waktu membaca; "A’udzu
billahi minasy syaiythaanirrajiim, min hamazihi, wa nafakhihi, wa nafasyihi."
Artinya: "Aku berlindung kepada Allah
dari syithan yang terkutuk, dari godaannya, dari was-wasnya, serta dari
gangguannya."
48. Dan sewaktu-waktu membaca
tambahan: "A’udzu billahis samii-il
a’liimi, minasy syaiythaani ……." Artinya: "Aku berlindung kepada Allah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari syaitan……."
49. Kemudian membaca basmalah
(bismillah) di semua shalat secara sirr (tidak diperdengarkan).
50. Kemudian membaca surat Al-Fatihah
sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah rukun shalat dimana shalat tak sah
jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib bagi orang-orang ‘Ajm (non Arab)
untuk menghafalnya.
51. Bagi
yang tak bisa menghafalnya boleh membaca: "Subhaanallah, wal hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla
wala quwwata illaa billah." Artinya: "Maha suci Allah, segala puji
bagi Allah, tidak ada sembahan yang haq selain Allah, serta tidak ada daya dan
kekuatan melainkan karena Allah."
52. Di dalam membaca Al-Fatihah,
disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan cara membaca.
(Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca.
(Alhamdulillahir-rabbil ‘aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca.
(Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin)
lalu berhenti, dan demikian seterusnya. Demikianlah cara membaca Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti diakhir setiap ayat
dan tidak menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan.
53. Boleh membaca. (Maaliki) dengan
panjang, dan boleh pula. (Maliki) dengan pendek.
54. Wajib bagi ma’mum membaca
Al-Fatihah dibelakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau saat imam
membaca keras tapi ma’mum tidak mendengar bacaan imam, demikian pula ma’mum
membaca Al-Fatihah bila imam berhenti sebentar untuk memberi kesempatan bagi
ma’mum yang membacanya. Meskipun kami menganggap bahwa berhentinya imam
ditempat ini tidak tsabit dari sunnah.
55. Disunnahkan sesudah membaca
Al-Fatihah, membaca surat yang lain atau beberapa ayat pada dua raka’at yang
pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat jenazah.
56. Kadang-kadang bacaan sesudah
Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula diringkas karena ada faktor-faktor tertentu
seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau karena tangisan anak kecil.
57. Panjang pendeknya bacaan
berbeda-beda sesuai dengan shalat yang dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh
lebih panjang dari pada bacaan shalat fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada
shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu bacaan pada shalat isya, sedangkan
bacaan pada shalat maghrib umumnya diperpendek.
58. Adapun bacaan pada shalat lail
lebih panjang dari semua itu.
59. Sunnah membaca lebih panjang pada
rakaat pertama dari rakaat yang kedua.
60. Memendekkan dua rakaat terakhir
kira-kira setengah dari dua rakaat yang pertama.
61. Membaca Al-Fatihah pada semua
rakaat.
62. Disunnahkan pula menambahkan
bacaan surat Al-Fatihah dengan surat-surat lain pada dua rakaat yang terkahir.
63. Tidak boleh imam memanjangkan
bacaan melebihi dari apa yang disebutkan didalam sunnah karena yang demikian
bisa-bisa memberatkan ma’mum yang tidak mampu seperti orang tua, orang sakit,
wanita yang mempunyai anak kecil dan orang yang mempunyai keperluan.
64. Bacaan dikeraskan pada shalat
shubuh, jum’at, dua shalat ied, shalat istisqa, khusuf dan dua rakaat pertama
dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak dikeraskan) pada shalat
dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua rakaat terakhir
dari shalat isya.
65. Boleh bagi imam memperdengarkan
bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang tidak dikeraskan).
66. Adapun witir dan shalat lail
bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang dikeraskan.
67. Sunnah membaca Al-Qur’an secara
tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak terlalu dipanjangkan dan tidak pula
terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf perhuruf. Sunnah pula menghiasi
Al-Qur’an dengan suara serta melagukannya sesuai batas-batas hukum oleh ulama
ilmu tajwid. Tidak boleh melagukan Al-Qur’an seperti perbuatan Ahli Bid’ah dan
tidak boleh pula seperti nada-nada musik.
68. Disyari’atkan bagi ma’mum untuk
membentulkan bacaan imam jika keliru.
0 Comments