MAJALAHJURNALIS.Com
(Jakarta)
- Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra (foto) akan menemui Plt Ketua Umum
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhamad Mardiono pada Senin (13/3/2023) di
DPP PPP, Menteng, Jakarta.
Pertemuan itu akan membahas kekuatan di Pemilu 2024.
"Kalau dari
segi ideologi kita cukup kuat sebenarnya, tapi sebagai partai kita enggak ada
duitnya. Karena satu-satunya cara untuk mengatasi ini adalah dengan membangun
koalisi bersama partai-partai lain. Baik sesama partai Islam dan partai
nasionalis. Yang paling dekat adalah bisa berkomunikasi dengan PPP," kata
Yusril, saat diwawancarai usai FGD di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (9/3/2023).
Dia pun
mengakui, dalam pertemuan dengan PPP akan membahas soal sistem Pemilu yang
tengah digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). PBB saat ini mendukung agar sistem
Pemilu 2024 menggunakan sistem proposional tertutup atau coblos partai.
"Iya
nanti akan kita bahas (sistem pemilu 2024)," ungkapnya.
Kendati
demikian, dia tak bisa memastikan bagaimana sikap PPP terkait sistem Pemilu.
Sebab, dia menyebut dalam internal partai berlambang Ka'bah tersebut terjadi
perbedaan pendapat atas sistem Pemilu 2024.
"Saya
belum tahu sikap PPP, dan partai lainnya di DPR 8 partai itu tidak setuju
(sistem Pemilu proporsional tertutup), dan yang setuju hanya PDIP dan PBB. Mungkin setelah diskusi kita akan
mengetahui kepentingan kita masing-masing," imbuhnya.
Proporsional Terbuka Bertentangan dengan Konstitusi
Sebelumnya,
Yusril Ihza Mahendra mengatakan, sistem proporsional terbuka bertentangan
dengan UUD 1945. Argumentasi itu disampaikan dalam sidang Perkara Nomor
114/PUU-XX/2022 terkait uji materiil sistem proporsional terbuka dalam UU No.7
Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Dia
menyampaikan keterangan sebagai pihak terkait selaku pimpinan PBB pada Rabu
(8/3/2023). Yusril menyatakan, pasal-pasal terkait sistem proporsional terbuka
atau coblos caleg yaitu Pasal 168 ayat 2, pasal 342 ayat 2, Pasal 353 ayat 1
huruf b, Pasal 386 ayat 2 huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422 Pasal 424
ayat 2 dan Pasal 426 ayat 3 UU No.7 Tahun 2017, bertentangan dengan konstitusi.
"Secara
nyata bertentangan dengan UUD RI 1945 karena menghalangi pemenuhan jaminan-jaminan
konstitusional mengenai fungsi parpol, melemahkan kapasitas pemilih dan
melemahkan kualitas pemilihan umum," katanya di MK, Jakarta, Rabu (8/3/2023).
Peran dan
fungsi partai politik telah direduksi karena sistem proporsional terbuka.
Partai politik telah direduksi perannya hanya sebagai pengusung dan tidak punya
peran untuk menentukan atau memutuskan calon kandidat yang punya kompetensi
untuk mengisi jabatan politik yang diperebutkan.
Hal ini
bertentangan dengan konstitusi dan UU Partai Politik. Menurut Yusril,
seharusnya partai politik diberikan peran untuk menentukan kandidat yang akan
ditaruh dalam jabatan politik.
"Berlakunya
ketentuan pasal 168 ayat 2 UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu secara langsung
telah mereduksi kedudukan partai politik dari posisinya selaku kontestan yang
memiliki program dan kader-kader bertindak untuk dia atas nama nilai-nilai
perjuangannya yang telah dijamin konstitusi untuk itu hanya sekadar promotor
yang Keberhasilan atau keterpilihan kader yang diusung itu 100 persen
ditentukan oleh suara terbanyak pemilih itu sendiri," ujarnya.
"Ini
jelas bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat," imbuh Yusril.
Sistem
proporsional terbuka yang awalnya bertujuan menghilangkan jarak antara pemilih
dan wakilnya justru secara struktural melemahkan partai politik. Sebab partai
politik hanya akan memburu kader yang memiliki popularitas tinggi dan kemampuan
finansial.
"Kader
terbaik yang ideologis punya kapasitas bekerja namun tidak begitu populer
perlahan tersingkir dari lingkaran partai dan digantikan figur terkenal yang
nyatanya kadang belum tentu bisa bekerja dengan baik," terangnya.
Pakar hukum
tata negara ini mengatakan, karena perubahan medan permainan yang menjadikan
suara terbanyak segalanya membuat partai partai tidak memiliki kader mumpuni.
"Tidak
jarang satu partai bukan menjagokan kader sendiri malah menjagokan kandidat
yang masih berstatus partai lain. Bahkan ada banyak kandidat yang partisan atau
bukan anggota parpol. Fenomena ini dianggap biasa padahal ini penyakit kronis
yang sedang menjangkiti parpol hari ini," ujar Yusril.
Bagi pemilih
juga telah dilemahkan secara struktural. Karena pemilih tidak lagi dihadapkan
dengan pertarungan gagasan dan ide. Tetapi hanya sebatas memilih calon populer.
Bahkan, ditambah politik uang yang semakin kuat.
"Betulkah
hak pilih mereka setara amplop dan bingkisan sembako sehingga bisa digadaikan
dengan begitu mudahnya pemilih kita hari ini masih begitu kondisinya,"
tegas Yusril.
Sistem
proporsional terbuka ini, dia menambahkan, justru melebarkan spektrum politik
uang. Pemilihan dengan mencari suara terbanyak menjadikan para kandidat menjadi
aktor politik uang yang masif.
"Sistem
proporsional terbuka memperparah spektrum politik uang menjadi lebih tersebar
dan masif," tutupnya.
Sumber: Merdeka.com
Proporsional Terbuka Bertentangan dengan Konstitusi
0 Komentar