Ticker

7/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Usulkan Jaksa Bukan dari ASN

 

Barita Simanjuntak

MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) -  Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah membentuk Panitia Kerja (Panja) yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Mengenai RUU inisiatif tersebut, Komisi Kejaksaan mengusulkan tujuh poin yang dapat menjadi pertimbangan Komisi III dalam pembahasan RUU Kejaksaan.

Adapun tujuh poin diantaranya, Jaksa Agung berasal dari Jaksa, pencantuman asas dominus litis, pengecualian Jaksa dari Aparatur Sipil Negara (ASN), kewenangan Jaksa Agung beracara di Mahkamah Konstitusi, kewenangan Kejaksaan dalam perampasan aset, Kejaksaan sebagai central authority dan pengamanan terhadap Jaksa dan keluarga.

Untuk poin ketiga, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak menjelaskan, pengecualian jaksa dari ASN lantaran jaksa memiliki karakteristik kekhususan yang tidak dimiliki oleh ASN.

Terdapat lima alasan seorang jaksa perlu dikeluarkan dari ASN. Pertama, jaksa memiliki lembaga pengawas khusus. Di mana, pengawasan terhadap kinerja profesi jaksa dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Komisi Kejaksaan selaku pengawas eksternal.

"Sedangkan pengawasan terhadap ASN dilakukan oleh komisi aparatur sipil negara. Kedua, profesi Jaksa tidak dapat dimasukkan dalam rumpun jabatan fungsional PNS," kata Barita dalam RDPU RUU Kejaksaan bersama Komisi III DPR RI, Rabu (17/11/2021).

Ketiga, pengisian jabatan pimpinan tinggi di kejaksaan berbeda dengan ketentuan di undang-undang ASN. Barita mencontohkan, untuk Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Kejaksaan Tinggi tentu tidak dilakukan dengan open bidding yang terbuka tetapi disesuaikan dengan undang-undang.

Keempat, adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 30/P/HUM tahun 2020 yang pada pokoknya menegaskan profesi Jaksa tidak akan hilang meski pun Jaksa tersebut ditugaskan di luar instansi kejaksaan.

Kelima, dalam sistem peradilan pidana hakim dan penyidik Polri bukan seorang PNS, sementara Jaksa masih dikategorikan sebagai PNS atau ASN. Ketika pemerintah melakukan moratorium penerimaan ASN, membuat kejaksaan tidak dapat menambah pegawai baru lantaran status Jaksa sebagai ASN.

"Mengenai merekrut SDM, Kepolisian dapat setiap tahun merekrut anggota kepolisian, hal ini berdampak kepada Kejaksaan yang masuk ke dalam ASN, terdapat kebijakan moratorium selama beberapa tahun berdampak pada kekurangan tenaga jaksa dalam pelaksanaan tugasnya, kalau dia diberikan status kekhususan maka hal ini bisa diatasi," jelasnya.

Maka, Komisi Kejaksaan mengusulkan agar RUU Kejaksaan mengatur bahwa pegawai kejaksaan terdiri dari jaksa dan ASN.

"Terhadap aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara, tapi mengenai pegawai kejaksaan diatur dalam peraturan pemerintah," ungkapnya.

Selain itu Komisi Kejaksaan juga menyoroti mengenai Jaksa Agung harus berasal dari Jaksa. Hal tersebut karena kejaksaan juga adalah bagian dari lembaga peradilan.

Barita menegaskan, perlu ada penambahan syarat menjadi Jaksa Agung yakni lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan Jaksa. Jaksa Agung juga harus memiliki kompetensi manajerial yang telah teruji dan berasal dari kalangan internal Kejaksaan, sehingga memiliki pemahaman yang baik terhadap kultur, karakteristik organisasi dan tata kerja serta peraturan-peraturan internal di Kejaksaan.

Jika berkaca pada institusi TNI dan Polri, pimpinan tertinggi di kedua lembaga tersebut yaitu Kapolri dan Panglima TNI berasal dari internal. Komisi Kejaksaan menilai apabila Jaksa Agung berasal dari Jaksa, dengan demikian akan mempercepat proses perubahan karena telah memahami sejak dini akan karakteristik dan budaya organisasi tersebut.

Sumber : Kontan.co.id - NewsSetup

Post a Comment

0 Comments