“Sosok pejuang buruh, Marsinah yang
tewas dibunuh dengan penyiksaan kejam dan mengakibatkan korban mengalami luka
berat mematikan yang demikian jauh dari perikemanusiaan dan peradaban”.
MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) – Kali
ini Majalahjurnalis.com akan mengangkat kembali kisah Marsinah Pejuang Buruh
yang sudah melegenda. Kisah ini dikutip dari berbagai sumber yang layak
dipercaya.
Bicara
soal Buruh di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sosok Marsinah.
Ia
merupakan salah satu aktivis buruh yang menjadi salah satu korban di era Orde
Baru.
Marsinah
hilang lantaran diculik oleh sekelompok orang, hingga kemudian mayatnya
ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur pada 8
Mei 1993.
Dikutip
dari Kompas.com berikut
sekilas tentang sosok Marsinah; Kelompok yang tergabung dalam Konfederasi
Serikat Nasional menggelar unjuk rasa di depan Kantor DPRD Surabaya, Jawa
Timur, Selasa (8/5/2012).
Pada
unjuk rasa memperingati kematian buruh Marsinah tersebut, mereka menuntut
pengusutan dan pengungkapan tuntas dalang kematian Marsinah. (Kompas/Bahana
Patria Gupta)
Energik
dan Penuh Keberanian
Dikutip
dari Harian Kompas, 10 November 1993, Marsinah adalah seorang buruh wanita yang bekerja pada PT Catur Putra Surya
(CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Perempuan yang sangat energik ini adalah sosok buruh yang
progresif dan tidak ingin mengalah begitu saja kepada nasib walaupun lahir dari
keluarga tak mampu.
Hal itu ditunjukkannya sejak kecil, ia sudah dididik oleh
lingkungan, sehingga jiwanya matang dan penuh keberanian.
Salah satu sisi menarik dari Marsinah adalah dia merupakan seorang yang memiliki hobi membaca dan selalu
mendapat juara di sekolahnya.
Namun, bekal juara dan hobi membaca saja tak cukup untuk
membuatnya meraih pendidikan hingga bangku perkuliahan.
Karena keterbatasan biaya, Marsinah hanya mampu menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat SLTA.
Kendati demikian, menuntut ilmu terus ia lanjutkan, yaitu
melalui jalur nonformal dengan mengikuti kursus Bahasa Inggris dan komputer.
Suatu hal yang jarang sekali ditemukan pada kebanyakan buruh
wanita pabrik. Di lingkungan perusahaan dimana dia bekerja, Marsinah merupakan
aktivis dalam organisasi buruh SPSI unit kerja PT CPS.
Acara
Hari Buruh di Solo dengan mengenang Marsinah, di Bundaran Gladag, Solo, Kamis
(1/5/2014). (Kompas.Com/ M Wismabrata)
Vokal Membela Rekan-Rekannya
Meskipun
belum lama aktif, tetapi ia merupakan buruh wanita yang vokal di dalam membela
rekan-rekannya sesama buruh, yang kerap diperlakukan tidak adil oleh pihak
pimpinan perusahaan.
Pada unjuk rasa yang menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700
menjadi Rp 2.250 tanggal 4 Mei 1993, dialah yang memimpinnya.
Dan ketika beberapa rekannya dikeluarkan dari perusahaan, dia
pulalah yang membelanya.
Perjuangan Marsinah mengalami puncaknya pada tanggal 5 Mei 1993, yaitu ketika suatu malam
dia diculik dan disiksa oleh 5 orang "algojo" PT CPS.
Menurut mereka, Marsinah pantas untuk mendapat siksaan karena ulahnya telah banyak merugikan
perusahaan.
Diperkirakan, pada malam itulah Marsinah tewas. Dan baru pada 9 Mei mayatnya ditemukan secara mengenaskan di
sebuah gubuk di daerah Nganjuk, sekitar 200 km dari tempatnya bekerja.
Kematian
Marsinah yang tidak
wajar itu mendapat reaksi keras dari para aktivis dan masyarakat luas.
Mereka menuntut pihak aparat keamanan untuk menyelidiki dan
mengadili para pelakunya.
Sebagai rasa simpati dan solidaritas terhadap Marsinah, para
aktivis pun membentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM).
Marsinah, Aktivis buruh dari Jawa Timur yang jadi korban
pembunuhan. (Kompas.com)
Biografi Singkat
Harian
Kompas, 28 Juni 2000 memberitakan, Marsinah lahir pada 10 April 1969 . Dirinya memiliki tipikal buruh perempuan
desa yang mengkota tetapi terpinggirkan.
Namun
sosoknya secara tiba-tiba muncul sebagai pahlawan di tengah hiruk-pikuk
industrialisasi manufaktur dan represi penguasa di pertengahan dasawarsa 90-an.
Marsinah
anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Marsini kakaknya dan
Wijiati adiknya, lahir dari pasangan Astin dan Sumini di desa Nglundo,
Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk.
Ibunya
meninggal saat ia berusia tiga tahun, dan ayahnya kemudian menikah lagi dengan
dengan Sarini, perempuan dari desa lain.
Sejak itulah Marsinah kecil diasuh neneknya, Paerah yang tinggal bersama paman dan bibinya,
pasangan Suraji-Sini.
Tidak Ada Yang Istimewa Dari
Masa Kecil Marsinah
Ia tipikal anak perempuan kalangan menengah pedesaan yang
hidup subsisten, tidak terlampau miskin, walaupun tidak kaya.
Seperti mayoritas anak-anak perdesaan di Indonesia, ia sudah
bekerja pada usia dini dan tampak lebih dewasa dari usianya.
Bekerja bagi mereka sangat lazim, termasuk kerja upahan di
rumah maupun di pabrik.
Sepulang sekolah, ia membantu neneknya menjual beli gabah dan
jagung, dan menerima sekadar upah untuk mengangkut gabah dengan bersepeda dari
sawah atau rumah orang yang gabahnya sudah dibeli.
Dikalangan teman-teman dan gurunya, di SD Negeri Nglundo,
meskipun kepandaiannya dipandang biasa-biasa saja, tetapi kerajinan, minat
baca, sikap kritis dan tanggung jawabnya menonjol.
Setiap tugas sekolah selalu berupaya diselesaikannya. Jika
ada penuturan gurunya yang kurang jelas, tidak segan ia mengangkat tangan
meminta penjelasan.
Setelah
naik kelas VI, ia pindah ke SDN Karangsemi, dan kemudian melanjutkan ke SMP
Negeri V Nganjuk pada tahun ajaran 1981/1982.
Di sinilah, sebagaimana harapan banyak anak Indonesia
seusianya, cita-citanya terbentuk.
Mencoba melanjutkan ke SMA Negeri, namun gagal, dan akhirnya
ke SMA Muhammadiyah dengan bantuan biaya seorang pamannya yang lain.
Perwakilan
massa mengungkapkan dukungannya terhadap Marsinah. Aksi terbuka di gelar di
depan Bundaran Videotron Semarang, Senin. (Kompas.com/Nazar Nurdin)
Tak Mampu Kuliah karena Terkendala Biaya
Di
SLTA, minat bacanya semakin meluas. Di waktu senggang ia lebih banyak ke
perpustakaan ketimbang bermain.
Lagi-lagi
seperti banyak gadis desa sebayanya, cita-citanya untuk melanjutkan ke Fakultas
Hukum kandas, karena keluarganya tak mampu membiayai kuliah.
Tidak
ada pilihan lain kecuali mencari lapangan kerja di kota besar. Tahun 1989 ia ke
Surabaya, menumpang di rumah kakaknya, Marsini, yang sudah berkeluarga.
Setelah
berkali-kali melamar kerja ke berbagai perusahaan, akhirnya Marsinah diterima bekerja pertama kali di pabrik plastik SKW kawasan industri
Rungkut.
Gajinya
jauh dari cukup.
Untuk memperoleh tambahan penghasilan ia nyambi jualan nasi
bungkus di sekitar pabrik seharga Rp 150 per bungkus.
Sebelum akhirnya, tahun 1990, bekerja di PT Catur Putra
Surya, Rungkut, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan pengemasan barang.
Urbanisasi, berdagang untuk penghasilan tambahan, dan
berpindah kerja dari satu pabrik ke pabrik lainnya untuk mendapatkan upah yang
lebih layak, merupakan kisah klasik buruh perempuan di Jawa sejak awal
dasawarsa 80-an. Inilah kisah perjalanan Marsinah kaum buruh yang terdzolimi.
Marsinah melegenda berkat perjuangannya terhadap kedzoliman pihak pengusaha dan
rezim Orde Baru kala itu. Kini perjuangan Marsinah masih diteruskan oleh rekan-rekan
di organisasi buruh)
Sumber:
WartaKotalive.com
0 Komentar