MAJALAHJURNALIS.Com -Terlu
banyak masalah material yang dilihat, hingga lupa pada bantak hal yang bersifat
immaterial atau spiritual. Seperti raga yang abai pada jiwa hingga ruh pun
semakin jauh dan terasing dari tubuhnya sendiri. Laku
spiritual yang semaikin dilupakan bangsa Nusantra justru memposisikan bangsa
Nusantara tidak pernah bisa berada digaris terdepan. Karena itu gerakan
kebangkitan dankesadaran spiritual
semakin mendesak untuk menjawab tantangan jaman yang semakin kompleks. Kecuali
itu, tekanan budaya materialistik semakin menguat melibas hasrat untuk
menjadikan tradisi dari laku spiritual untuk mewarnai hidup dan kehidupan
manusia agar dapat semakin mendekatkan diri dengan Illahi Rabbi. Semua
yang diorientasikan pada bentuk dan nilai materi itu sudah dimulai dari rumah.
Karena tidak sedikit yang merasa cukup bila semua kebutuhan materi sudah
terpenuhi, maka semua masalah sudah cenderung dianggap selesai. Begitu
juga sebaliknya yang ada di rumah, semua sudah merasa cukup bila terpenuhi
semua keperluannya yangbersifat
material, bukan immaterial atau spiritual. Akibatnya, tak hanya tradisi warisan
leluhur yang adi luhung itu bisa dilanjutkan dan dikembangkan, tapi pada
tataran budaya secara keseluruhan terjadi kemandegan, atau bahkan terpiuh pada
arah yang semakin tidak jelas juntrungannya. Dalam
realitas suku bangsa Nusantara yang telah menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia sejak dimerdekan pada 17 Agustus 1945 -- ruh segenap warga bangsa
yang memiliki karakteristik khas agraris dan maritim justru terus melorot
melampaui juah dibawah titik nol. Tak ada lagi nostalgia lada, pala, kopi dan
cangkir hingga dapat dan kapur barus. Yang
unik tentu saja, lintapnya komoditas unggulan warga bangsa Nusantara ini tidak
menurunkan antusiasme bangsa asing untuk terus merangsek masuk dan berdatangan
ke negeri yang pernah berjulukgemah
ripah loh jinawi pada masa lalu yang juga ikut dilupakan pada masa kini. Tak
kalah banyak ragam kekayaan warga bangsa Nusantara dalam bentuknya lain yang
terabaikan.Mulai dari kisah sejarah,
situs dan beragam bentuk peninggalan masa silam yang tersia-siakan, seperti
komplek percandian serta Keraton yang cuma dijadikan obyek wisata berklas
rendah dan murah. Sebab, jika mau dikelola lebih baik -- dan lebih bergengsi
untuk menjaga marwah bangsa yang pernah unggul pada masa kejayaannya dahulu--
maka komplek percabdian yang banyak terdapat di negeri Nusantara ini dapat
menjadi destinasi ziarah spiritual yang menarik bagi seluruh bangsa-bangsa di
dunia untuk berduyun-duyun membiarkan devisa lebih merata di pelosok negeri
ini. Demikian juga dengan Keraton yang ada di semua daerah, akan menjadi
kebanggaan bagi segenap anak bangsa bila dapat dijadikan pusat kajian
sertapengembangan ilmu dan pengetahuan
budaya dari masing-masing suku bangsa Indonesia yang unik dan menarik untuk
mewarnai kekayaan serta memajukan peradaban manusia mulai hari ini untuk masa
depan yang lebih baik. Untuk
itu, gunamembangun peradaban baru
manusia Nusantra yang lebih unggul pada bidang ekonomi harus berbasis pada
agraris dan maritim di segenap penjuru negeri ini. Sedangkan untuk sosial dan
budaya serta agama, harus mampu diorentasikan pada dimensi spiritual yang
bersifat universal, tidak sektoral. Yang sulit, memang adalah membangun budaya
politik kitayang terlanjur liar
berkembang mencari format bakunya sendiri dengan bertumpu pada partai politik
yang punya selera instan. Atau paling jauh model menu restoran cepat saji yang
tak memberi garansi soal halal dan haram. Semua seakan bisa diperoleh dan boleh
dilihat tanpa perlu mempersoalkan tara cara maupun asal muasalnya. Idealnya,
begitulah membangun basis budaya agraris dan maritim dalam bingkai etika, moral
dan akhlak mulia manusia sebagai khalifah di muka bumi. @
0 Komentar