MAJALAHJURNALIS.Com - Sebagai
‘Konsumen’ Informasi, masyarakat dituntut untuk lebih mawas dan berhati-hati
dalam menerima setiap kalimat, maupun tiap detik narasi dalam sebuah video yang
ada di konten media sosial. Pengetahuan tentang hoaks pun harus diperkaya untuk kemudian
menjadi pelindung diri agar tidak menjadi korban, atau bahkan sebagai pelaku
penyebaran hoaks. Ada tiga turunan hoaks yang harus diketahui, yakni
disinformasi, misinformasi, dan malinformasi. Tingginya penggunaan Media Cyber dan Media Sosial oleh
Masyarakatmencerminkan fenomena
Digitalisasi yang akan semakin berkembang kedepannya. Masyarakat tampaknya cenderung mencari hal-hal baru menarik
yang terkadang menyesatkan untuk membuat konten yang diyakini sulit untuk
membedakan Informasi mana yang benar atau mana yang salah agar tampak lebih
nyata dapat diterima oleh Netizen di dunia Maya. Namun konten 'HOAKS' menjadi garis besar dalam persoalan
kegagalan Informasi. Persebaran informasi yang salah terlalu masif tersebar dan
terkadang diterima secara mentah oleh masyarakat luas. Terlebih, hoaks mudah didapatkan di beragam media sosial
maupun platform online lainnya. Hal inilah yang menggiring Indonesia pada kasus
“Darurat Hoaks”, sehingga menimbulkan banyak intrik, ujaran kebencian,
permusuhan, dan permasalahan sosial lainnya. Dua hal yang telah disebutkan diawal (disinformasi,
malinformasi) paling akrab dijumpai sebagai gangguan informasi. Dilansir dari Buku Pegangan untuk Pendidikan dan Pelatihan
Jurnalisme yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO, Diketahui ada 7 jenis gangguan
informasi sebagai instrumen disinformasi dan misinformasi yang dapat dipahami
sebagai akar persebaran hoaks di Indonesia.
1.
SATIRE dan PARODI Keduanya kerap saling berkaitan. Satire dan parodi dapat
dianggap sebagai bentuk seni, maka sering digunakan oleh para pelaku seni dalam
dialog di setiap peranannya. Satire merupakan sindiran dalam tipologi tentang disinformasi
dan misinformasi yang mungkin mengejutkan. Namun, di dunia tempat orang semakin
menerima informasi melalui media sosial, ada kebingungan ketika tidak dipahami
bahwa sebuah laman itu bersifat satire atau sindiran. 2.
HUBUNGAN yang SALAH Contoh hubungan yang salah adalah ketika judul berita,
visual, atau keterangan tidak mendukung konten yang bersangkutan. Yang paling
umum adalah judul berita click bait. Dengan meningkatnya persaingan untuk mendapatkan perhatian
khalayak, editor semakin harus menulis judul berita untuk menarik klik, bahkan
jika orang yang membaca artikel tersebut merasa telah ditipu. Ini juga dapat terjadi ketika visual atau keterangan
digunakan, terutama di situs-situs seperti Facebook, untuk memberikan kesan
tertentu, yang tidak didukung oleh kontennya. Ketika orang menggulir feed di media sosial mereka tanpa mengeklik
ke artikel (yang sering terjadi), visual dan keterangan yang menyesatkan bisa
sangat menipu. 3.
KONTEN yang MENYESATKAN Jenis konten ini adalah ketika ada penggunaan informasi yang
menyesatkan untuk membingkai isu atau individu dalam cara tertentu dengan
memotong foto, atau memilih kutipan atau statistik secara selektif. Visual adalah wahana yang sangat ampuh untuk menyebarkan
informasi yang menyesatkan, karena otak kita cenderung tidak terlalu kritis
terhadap visual12. Iklan berbayar yang meniru konten editorial juga masuk dalam
kategori ini jika tidak disertai keterangan yang memadai. 5.
KONTEN TIRUAN Ada masalah besar ketika nama seorang jurnalis diletakkan di
bawah artikel yang tidak mereka tulis, atau logo organisasi yang digunakan
dalam video atau gambar yang tidak mereka buat. Sebagai contoh, menjelang pemilihan umum Kenya pada 2017, BBC
Afrika menemukan bahwa seseorang telah membuat video lalu menambahkan logo BBC
hasil Photoshop, dan video itu beredar di WhatsApp15. BBC lalu harus membuat video
yang memperingatkan orang-orang untuk tidak tertipu oleh video rekayasa
tersebut. 6.
KONTEN yang MANIPULASI Konten yang dimanipulasi adalah ketika konten asli
dimanipulasi untuk menipu. Sebuah contoh dari Afrika Selatan menunjukkan gambar
yang dimanipulasi dari Editor HuffPost bernama Ferial Haffajee yang dalam satu
kasus, duduk di pangkuan seorang pengusaha, Johan Rupert yang menunjukkan ada
hubungan pribadi di antara keduanya. 7.
KONTEN REKAAN Jenis konten ini dapat berupa format teks, misalnya “laman
berita” yang sepenuhnya dibuat-buat, seperti WTOE5 News, laman berita fantasi
yang menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa Paus telah mendukung Donald
Trump untuk Presiden. Ini juga dapat berupa visual, seperti halnya grafik yang
secara keliru menyarankan bahwa orang dapat memilih Hillary Clinton melalui
SMS17. Visual seperti ini ini menarget komunitas minoritas di jejaring sosial
menjelang pemilihan presiden di AS. Dari Tujuh jenis gangguan Informasi diatas dapat dijadikan
oleh khalayak umum, khususnya para pembaca dan penikmat konten sebagai sumber
pengetahuan untuk memahami persoalan disinformasi, misinformasi, dan
malinformasi. Dengan begitu, akan meminimalisir adanya penyebaran hoaks
yang akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi individu, kelompok, maupun negara.
(Penulis adalah salah seorang tokoh pemuda asli Medan dan sekaligus Pimpinan
Umum Media Siber Nusantara (MSN).
0 Comments