Dirut
PLN Darmawan Prasodjo (Foto: Antara)
MAJALAHJURNALIS.Com
(Jakarta) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Kejaksaan Agung (Kejagung) didesak memeriksa Direktur Utama PT Perusahaan
Listrik Negara (PLN) (Persero) Darmawan Prasojo. Pasalnya, banyak kasus dugaan
korupsi yang menyelimuti perusahaan setrum negara itu.
Eks
orang nomor satu di PLN dari tahun 2011 hinga 2019 pun telah tersetrum korupsi
di dalamnya. Adalah Eddie Widiono, Dahlan Iskan, Nur Pamudji dan Sofyan Basir.
"Jika
ada indikasi bukti mengarah kesana saya kira sangat perlu, apalagi Dirut adalah
penanggung jawa utama segala proyek yang dikerkakan PLN," kata pakar hukum
pidana dari Universitas Trisakti (Usakti), Abdul Fickar Hadjar saat berbincang
dengan Monitorindonesia.com, Senin (4/11/2024) sore.
Adapun
KPK dikabarkan sudah menetapkan tersangka di kasus proyek PT PLN Unit Induk
Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) yang merugikan negara raturan
miliar rupiah. Kendati kasus ini tak nyaring lagi di KPK.
Yang
lebih anehnya lagi adalah di Kejagung. Kasus dugaan korupsi pengadaan tower
transmisi PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero) pada 2016 hingga saat
ini masih nihil tersangka.
Kasus
yang disidik penyidik Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Pidana Khusus (Pidsus)
Kejagung pada Juli 2022 lalu itu turut disoroti Abdul Fickar. Kata dia, kalau
kasus itu tidak terus diingatkan publik, maka 'adem ayem' saja nanti. Pelakunya
pun akan 'anteng wae' juga.
Jika
Kejagung tak juga mengusut tuntas kasus itu, tega dia, sebaiknya kasus
megakorupsi itu ditangani KPK saja. Toh KPK ingin nangkap ikan besar tuh, nah
kesempatan bagi KPK mengusut kasus ini.
"Jika
ada yang berkepentingan laptopkan saj ke KPK, meskipun KPK merupakan sipervisor
semua kasus korpsi yang ditangani penegak hukum lain. Jika tidak diingatkan
karena masih ada sikap ewuh pakewuh (tidak enak perasaan)," katanya.
"Korupsi
di lembaga apapun harus diberantas apa lagi lembaga pelayanan publik seperti
PLN," timpalnya menegaskan.
Adapun
kasus tower transmisi naik ke tahap penyidikan dari penyelidikan berdasarkan
Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Khusus Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/07/2022.
Mantan
Kapuspenkum Kejagung saat itu, Ketut Sumedan yang saat ini Kepala Kejaksaan
Tinggi (Kejati) Bali menerangkan kasus ini bermula pada 2016, saat itu PT PLN
sedang melakukan kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set dengan anggaran Rp
2,2 triliun.
Proyek
pengadaan tower itu dilaksanakan oleh PT PLN dan Asosiasi Pembangunan Tower
Indonesia (Aspatindo) serta 14 penyedia pengadaan tower. "Adapun kasus
posisi dalam perkara ini yaitu bahwa PT PLN (Persero) pada 2016 memiliki
kegiatan pengadaan tower sebanyak 9.085 set tower dengan anggaran pekerjaan Rp
2.251.592.767.354 (triliun). Dalam pelaksanaan, PT PLN (Persero) dan Asosiasi
Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo) serta 14 penyedia pengadaan tower pada
2016," kata Ketut Sumedana dalam keterangan persnya, Selasa (26/7/2022)
silam.
Dalam
prosesnya, kata Ketut, pengadaan tower transmisi ini melawan hukum atau
menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan. Perbuatan itu,
kata Ketut, menimbulkan kerugian keuangan negara.
"Telah
melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dalam proses
pengadaan tower transmisi PT PLN (Persero) yang diduga menimbulkan kerugian
keuangan negara," kata Ketut.
Tak
hanya itu, kata Ketut, dokumen perencanaan pengadaan proyek pada 2016 juga
tidak pernah dibuat. Sementara itu, pengadaan tower ini menggunakan daftar
penyedia terseleksi (DPT) tahun 2015 yang seharusnya menggunakan produk DPT
2016.
"Dokumen
perencanaan pengadaan tidak dibuat, menggunakan daftar penyedia terseleksi
(DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower, padahal seharusnya
menggunakan produk DPT yang dibuat pada 2016, namun pada kenyataannya DPT 2016
tidak pernah dibuat," ujar Ketut.
Ketut
mengungkap PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodasi permintaan dari
Aspatindo. Hal itu pula yang mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan
pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka. Dalam hal ini, Ketua Aspatindo juga
menjabat Direktur Operasional PT Bukaka.
PT
Bukaka dan 13 penyedia tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah
melakukan pekerjaan dalam masa kontrak Oktober 2016 hingga Oktober 2017.
Realisasi pekerjaan itu sebesar 30 persen. "PT Bukaka dan 13 penyedia
tower lainnya yang tergabung dalam Aspatindo telah melakukan pekerjaan dalam
masa kontrak (Oktober 2016-Oktober 2017) dengan realisasi pekerjaan sebesar 30
persen," ujar Ketut.
Lalu,
pada November 2017 hingga Mei 2018, penyedia tower tetap mengerjakan pengadaan
tower tanpa legal standing. Hal itu kemudian memaksa PT PLN melakukan adendum
yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun.
"Selanjutnya,
pada periode November 2017 sampai Mei 2018, penyedia tower tetap melakukan
pekerjaan pengadaan tower tanpa legal standing yang kondisi tersebut memaksa PT
PLN (Persero) melakukan adendum pekerjaan pada Mei 2018 yang berisi
perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun," kata Ketut.
Kasus
Sumbagsel
Sama
halnya di KPK, juga tengah mengusut kasus dugaan rasuah di PT PLN. Adalah soal
proyek PT PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel).
Hanya saja, KPK sudah menetapkan tersangka dalam kasus yang sedang disidik itu.
Hal ini sebagaimana pada aturan di KPK bahwa jika sudah naik ke tahap
penyidikan maka sudah ada tersanka. Sementara di Kejagung hingga saat ini belum
ada tersangka terkait kasus di PT PLN itu.
Sudah
sejak lama, aparat penegak hukum tak berani mengungkap kasus dugaan korupsi di
perusahaan pelat merah itu. Setiap tahun PT PLN dalam laporan keuangannya
selalu merugi padahal, perusahaan itu tunggal dalam mengelola listrik
negara.
Dari
penelusuran Monitorindonesia.com, proyek-proyek PT PLN di sejumlah titik sudah
diatur sedemikian rupa. Anggaran bahkan diduga mark up hingga 100 persen.
Sebagai contoh, dalam proyek penataan kabel-kabel listrik yang menjuntai di
sepanjang jalan protokol di Jakarta, PT PLN Persero menganggarkan hingga Rp 12
juta per meter.
Korupsi Proyek HDD
Proyek
itu juga "dijual" ke sub kontraktor dengan nilai penawaran Rp 5-6
juta per meter dengan menggunakan Mesin boring HDD (Horizontal Direct
Drilling). "Dengan harga Rp 2,1 juta saja kami masih ada sisa, padahal,
yang kita tahu dari PLN ke main kontraktor angkanya cukup besar antara Rp 10-12
juta per meter," ungkap salah seorang perusahaan sub kontraktor yang menggunakan
mesin HDD di Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.
Ketika
ditanya kenapa hanya bekerja sebagai sub kontraktor kalau bisa mengerjakan
proyek HDD di harga Rp 2.1 juta per meter, dia mengatakan sangat sulit
perusahaannya masuk berkompetisi di PT PLN persero.
"Enggak
mungkin kami bisa menang tender sekalipun harga penawaran kami jauh lebih
murah. Separuh dari harga yang dibuat PLN saja kami masih ada untung kok. Ini
yang kami kerjakan selama ini".
"Proyek-proyek
PLN itu sudah diatur (PLN) bersama pembesar-pembesar. Perusahaan seperti kami
gak bakalan menang tender, sekalipun kami sebenarnya yang banyak mengerjakan
proyek-proyek (PLN) selama ini," ungkapnya.
Bisa
dibayangkan, dari proyek penataan kabel menggunakan mesin bor HDD yang ada di
Jakarta saja bisa mencapai puluhan kilometer setiap tahun. Nilai proyeknya
mencapai triliunan rupiah.
Indonesian
Ekatalog Wacth (INDECH) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gerak cepat
untuk menyelamtkan keuangan negara i tubuh PT PLN. Terkini, INDECH mendesak KPK
untuk membuka penyelidikan 20 proyek besar di PT PLN (Persero) tahun 2016-2019
di sejumlah daerah di Indonesia. Termasuk proyek pengadaan dan pembangunan
kabel Bawah tanah Gandul-Kemang tahun 2022.
Proyek
yang merugikan negara hingga triliunan rupiah harus menjadi perhatian khusus
KPK karena diduga melibatkan banyak vendor seperti PT Kabel Metal Indonesia
(KMI), PT Sucaco, PT Berca, PT Prysmian Cable dan lainnya.
Sebanyak
lima vendor cable yang mendapatkan proyek "arisan" dari PT PLN dalam
kurun waktu 2016-2019. Vendor cable tersebut masing-masing berbagi wilayah
kerja mulai dari Sumatera, Jawa, Bali hingga Makassar.
Proyek
itu dikerjakan dengan metode Pengeboran Horisontal Terarah/Horizontal
Directional Drilling (HDD) merupakan metode konstruksi/pengeboran tanpa galian
dengan menggunakan mesin bor dengan langkah kerja terakhirnya adalah “menarik”
pipa atau utilitas lainnya ke dalam lubang bor.
Dari
hasil penelusuran tim investigasi Monitorindonesia.com di sejumlah daerah,
sedikitnya 20 lokasi proyek penanaman kabel milik PT PLN (persero) pada tahun
2016-2019. Lokasi dan perusahaan yang mengerjakan itu diantaranya, PT Pharma
(Makassar), PT Kencana Sakti Indonesia dan PT Citra Gentari Indonesia di
kawasan Cawang (Jakarta) dan Palembang dengan vendor PT BICC (Berca).
Sedangkan
vendor PT Sucaco menggandeng PT Pharma, PT Jamindo dan PT SAJ dengan lokasi
pekerjaan Makassar, Cilegon, Kebon Jeruk, Ancol dan lainnya. Sedangkan vendor
Kabel Metal Indonesia (KMI) menggandeng PT CME di Bali.
Sebagaimana
diketahui, proyek penanaman kabel dengan metode HDD di kurun waktu 2016-2019
tersebut mencapai ratusan kilometer. PT PLN mengucurkan dana dana yang
sangat besar untuk proyek tersebut.
PT
PLN menetapkan Harga HDD untuk 3 pipa sebesar Rp 12 juta per meter. Sementara
untuk ukuran 6 pipa sebesar Rp 16 juta per meter. Sementara untuk ukuran 12
pila Rp 24 juta per meter. Belum lagi pengadaan cable 150 KV yang diadakan
vendor yang harganya tak kalah mahal juga.
Dalam
pelaksanaan proyek di kurun waktu 2016-2019, vendor menggandeng sejumlah
kontraktor binaan PT PLN. Vendor cable memberikan pekerjaan kepada kontraktor
binaan atau yang diajukan pejabat PT PLN untuk mengerjakan proyek fisik seperti
HDD. Perusahaan vendor berfungsi sebagai penyedia kabel yang sudah tercantum
dalam ekatalog.
KMI-CME
Indonesian
Ekatalog Watch (INDECH) pun sudah mengendus dugaan mega korupsi di tubuh PT PLN
tersebut. INDECH merujuk Harga satuan
pekerjaan HDD per meternya hanya Rp 2,1 juta sebagaimana terungkap dalam
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 847/Pid.B/2020/PN.Jak.Sel,
tanggal 26 Oktober 2020.
PT.
PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Timur dan Bali, telah
melaksanakan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa II Tahun 2018 yang merupakan bagian
dari proyek HDD 2016-2019.
Dalam
putusan PN Jaksel tersebut, Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, PT. PLN
(Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Timur Dan Bali telah menunjuk PT
Kabel Metal Indonesia (KMI). KMI memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua,
kepada PT CME. Selanjutnya, PT CME memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa
Dua, kepada PT Ida Iasha Nusantara (IIN).
PO
sebagai bentuk SPK pemberian kerja dari PT. CME kepada PT. IIN dengan Nomor
:162/PT-CME/V/2018, tanggal 4 Mei 2018 perihal PO jasa HDD untuk pengerjaan UCG
Pecatu - Nusa Dua Bali senilai Grand total Rp. 31.185.000.000. Nomor
:163/PT-CME/V/2018, tanggal 4 Mei 2018 perihal PO jasa HDD untuk pengerjaan UCG
Pecatu - Nusa Dua Bali senilai Grand total Rp. 27.720.000.000.
Pada
kenyataannya PT. Ida Iasha Nusantara hanya mengerjakan pekerjaan 9.636.35 meter
HDD dari kontrak di 12.600 meter yang menjadi objek pekerjaan. Harga per meter
Rp 4.400.000 (Rp. 31.185.000.000 + Rp 27.720.000.000) dibagi 12.600 meter.
Selanjutnya,
PT Ida Iasha Nusantara memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, kepada
PT. Surya Cipta Teknik (SCT). Harga HDD yang disepakati oleh PT IIN dengan PT
SCT sebesar Rp 3.400.000. Dan perkiraan Direktur PT IIN, biaya maksimal
pekerjaan HDD hanya Rp 2.100.000 per meter.. Artinya untuk proyek HDD Bali yang
totalnya 30 kilometer tiga kali di
subkontrakkan.
Mark Up Rp 9
Juta/meter
Dari
fakta persidangan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan jelas disebut pekerjaan harga HDD hanya Rp 2,1 juta per meter. Hasil
pekerjaan diterima PLN dengan baik ya. Sementara PT PLN membuat harga Rp 12
juta meter. Kalaupun ada tambahan harga pipa (bungkus kabel), hitungan kami
tidak sampai Rp 1 juta. Artinya pekerjaan HDD bisa selesai dengan baik Rp 3
juta per meter. PLN kucurkan Rp 12 juta per meter. Ada dugaan mark up Rp 9 juta
per meter," ungkap Sekretaris Sekjen INDECH Order Gultom beberapa waktu
lalu.
Dengan
adanya dugaan mark up Rp 9 juta per meter,. Jumlah proyek HDD di 20 lokasi
sepanjang 2016-2019 di sejumlah daerah di Indonesia mencapai ratusan kilometer
sehingga kerugian negara di proyek HDD bisa mencapai triliunan rupiah dalam
kurun waktu itu. Kerugian negara itu masih di proyek fisik yang dikerjakan oleh
kontraktor HDD belum lagi pengadaan cable oleh vendor.
"KPK
harus segera membuka penyelidikan ata proyek HDD di PLN selama ini. Kami siap
memberikan data dan nama-nama perusahaan yang selama ini kami tengarai
bersekongkol dengan oknum petinggi PT PLN ke KPK. Kuat dugaan kami para oknum
pejabat PLN menitip harga ke kontraktor. Pekan depan INDECH akan melaporkan
kasus ini ke KPK," ujar Order.
Sebelumnya
diberitakan, PT IIN memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.300.000 hanya sebagai
perusahaan perantara dari kontraktor PT CME mitra PT KMI. Sedangkan PT SCT bisa
mengerjakan proyek HDD hingga tuntas dan diterima oleh PLN senilai Rp 2,1 juta
per meter.
"PT
IIN yang hanya sebagai perantara saja dalam proyek itu bisa mendapatkan fee
sebesar Rp 2,3 juta per meter. Logikanya PT CME sebagai main kontraktor tentu
mendapatkan bagian yang jauh lebih besar lagi dari PT IIN. Artinya, dalam
perencanaan di PLN ada dugaan mark up hingga ratusan persen untuk pekerjaan HDD
ya," tambah Order.
INDECH
menduga Pekerjaan SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua, telah terjadi kemahalan
harga. SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua memiliki Panjang 30.000 meter (30
kilometer). Bila dikalkulasi kerugian negara hanya untuk pekerjaan HDD
Pecatu-Nusa Dua saja (vendor KMI) mencapai Rp 63 miliar. Sementara pekerjaan
HDD di seluruh wilayah kerja PT PLN (Persero) bisa mencapai ratusan kilometer setiap
tahun. Artinya kerugian negara hanya pekerjaan HDD saja negara dirugikan
triliunan rupiah setiap tahun.
Pengalihan
pekerjaan SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua, melanggar peraturan di bidang
pengadaan barang dan jasa. “Penyedia Barang/Jasa dilarang mengalihkan tanggung
jawab seluruh atau sebagian pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada
pihak lain dengan cara dan alasan apapun, kecuali disubkontrakkan kepada
Penyedia Barang/Jasa yang memiliki kompetensi dalam bidang tersebut, dengan
persetujuan Pengguna Barang/Jasa.”
Direktur
Utama PT PLN Darmawan Prasodjo Ketika dikonfirmasi terkait kasus ini masih
enggan memberikan keterangan. Pesan singkat yang dikirimkan
Monitorindonesia.com ke ponselnya juga belum dijawab hingga berita ini
diturunkan.
Sumber
: Monitorindonesia.com
0 Comments