Header
Pilkada. tirto.id/quita
MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) - Fenomena kotak kosong menang di pemilihan
kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 menjadi tamparan keras bagi sistem
politik kita. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang untuk memilih pemimpin
potensial, justru ternodai dengan hasil akhir pemilihan.
Pada
Pilkada 2024, terdapat 37 daerah dengan calon tunggal. Dua di antaranya telah
dimenangkan oleh kotak kosong, yaitu pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota
Pangkalpinang dan pemilihan Bupati-Wakil Bupati Kabupaten Bangka.
Di
Pangkalpinang, pasangan Maulan Aklil-Masagus M Hakim kalah lawan kotak kosong.
Berdasarkan data situs web pilkada2024.kpu.go.id, Jumat (29/11/2024), melaporkan,
data per pukul 21.00 WIB, jumlah suara yang masuk sebanyak 311 TPS dari 311 TPS
atau 100 persen. Hasilnya: kolam kosong 57,98 persen atau 48.528 suara,
sedangkan Maulan-Masagus 42,02 persen atau 35.177 suara.
Kekalahan
ini tentu saja cukup tragis. Apalagi pasangan calon petahana ini mendapatkan
dukungan dari 16 partai politik. Rinciannya: sembilan partai parlemen, yakni
PDIP, Nasdem, Gerindra, Golkar, Demokrat, PKS, PPP, PAN dan PKB. Serta tujuh
partai nonparlemen, mulai dari Garuda, PKN, Partai Ummat, Partai Buruh, PSI,
Perindo, dan Hanura.
Sementara
di Kabupaten Bangka, pasangan Mulkan-Ramadian juga gagal memenangkan pemilihan
bupati dan wakil bupati. Pasangan yang diusung 10 parpol yaitu, PDIP, Golkar,
Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, Perindo, PKS dan PAN itu hanya meraup 42,75 persen
suara. Sedangkan kotak kosong unggul 57,25 persen.
“Sebenarnya
ada satu lagi pilkada yang dimenangkan kotak kosong, yakni di Pilkada Kota
Banjarbaru, Kalimantan Selatan,” ujar analis sosio-politik dari Institute for
Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, merespons kemenangan
kotak kosong, kepada reporter Tirto, Rabu (4/12/2024).
Erna
Lisa-Wartono, kata Musfi, bisa menang 100 persen karena paslon Muhammad
Aditya-Said Abdullah yang didiskualifikasi justru tidak diganti menjadi kotak
kosong. Perolehan suara Lisa-Wartono sebenarnya hanya 32 persen. Karena semua
suara Aditya-Said yang sampai 60 persen dinilai tidak sah, dan perolehan suara
Lisa-Wartono kemudian disebut 100 persen.
“Seharusnya
paslon Aditya-Said ditulis sebagai kotak kosong jika didiskualifikasi KPU. Yang
artinya, kotak kosong sebenarnya yang menang di Pilkada Kota Banjarbaru,” sebut
Musfi.
Jika
ditarik lebih luas lagi, dominasi kotak kosong di beberapa daerah juga cukup
tinggi meski tidak menang melawan calon tunggal. Di Sukoharjo, Jawa Tengah
misalnya, kotak kosong mendapat 33,2 persen suara melawan pasangan calon
Bupati-Wakil Bupati Sukoharjo, Etik Suryani-Eko Sapto Purnomo (66,8 persen
suara).
Perolehan
suara ini sudah dari 100 persen suara yang masuk ke 1.305 TPS di Sukoharjo.
Data tersebut menyatakan jumlah total suara yang masuk sebanyak 504.936.
Rinciannya, suara sah sebanyak 475.588 dan suara tidak sah sebanyak 29.348.
Tingkat partisipasi pemilih mencapai 73,80 persen.
Bergeser
ke daerah Brebes. Pemilihan Bupati Brebes kali ini, pasangan calon Paramitha
Widya Kusuma-Wurja juga berhadapan dengan kotak kosong. Berdasarkan data quick
countCharta Politika pada Kamis (28/11/2024) pukul 07.00 WIB, Paramitha-Wurja
mengantongi 57,33 persen suara. Sementara itu, pemilih yang mencoblos kotak
kosong mencapai 42,67 persen. Sampel yang masuk mencapai 100 persen.
Bukan Anomali, tapi
Perlawanan Rakyat
Musfi
Romdoni mengatakan, sebelumnya fenomena kemenangan kotak kosong di pilkada
hanya dipandang sebagai anomali semata. Fenomena ini pertama kali terjadi di
Pilkada Kota Makassar 2018. Tapi, beberapa kemenangan kotak kosong di Pilkada
2024 ini menunjukkan kalau fenomena ini sebenarnya bukan anomali, tapi bentuk
dari perlawanan rakyat.
“Selama
ini pilkada seolah terjadi secara satu arah. Parpol memiliki kewenangan penuh
menentukan siapa yang diusung di pilkada. Masyarakat hanya bisa menerima siapa
paslon yang diusung,” kata Musfi.
Kemenangan
kotak kosong ini, tentu saja menjadi perlawanan atas kewenangan mutlak parpol
dalam mengusung paslon. Ini jadi sinyal kalau parpol harus memperhitungkan
persepsi publik dalam keputusannya mendukung paslon. Sekaligus, kata dia, ini
menunjukkan betapa tidak puasnya masyarakat terhadap paslon yang maju.
“Parpol
dan para elite politik harus menyadari bahwa era sudah berubah. Kita masuk di
era digital yang membuat akses informasi menjadi begitu mudah. Dengan masalah
yang terus bertambah dan menjadi kompleks, masyarakat menginginkan cakada yang
memiliki solusi konkret untuk menjawab masalah kesehariannya,” jelas dia.
Analis
politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menambahkan,
pengalaman kotak kosong menang memang sudah ada di pilkada sebelumnya.
Kemudian, pada 2024 bertambah lagi, dan situasi ini semakin linier dengan
minimnya partisipasi pemilih yang juga rendah di Pilkada 2024.
Menurut
Dedi, ada dua penyebab kemenangan kotak kosong di Pilkada 2024. Pertama, publik
dihinggapi kebosanan dengan praktik politik praktis yang tidak memiliki
kepastian harapan, janji politik yang usang, hingga kekecewaan pada petahana
yang mungkin kian besar sehingga tidak lagi diinginkan.
Kedua,
keberanian publik meningkat dengan melawan hegemoni atau dominasi politisi yang
dianggap tidak memiliki kapasitas. Kondisi ini menjadi kritik untuk pemerintah,
bahwa mereka gagal hadirkan pemilihan yang terbuka dan setara, dominasi parpol
juga bisa menjadi penyebab.
“Bahwa
publik ingin ada kandidat yang lahir dari kelompok mereka, bukan dikuasai
kelompok parpol dan pemilih hanya dijadikan sebagai alat formalitas,” jelas
Dedi kepada Tirto, Rabu (4/12/2024).
Parpol Gagal Suguhkan
Tokoh
Sementara
itu, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath,
berpandangan bahwa tingginya persentase suara kotak kosong dalam Pilkada 2024
mencerminkan beberapa hal. Pertama, minimnya alternatif pilihan. Pilkada dengan
calon tunggal terjadi ketika hanya satu pasangan calon yang memenuhi syarat
pencalonan.
“Ini
menunjukkan bahwa partai politik gagal menghadirkan variasi kandidat yang
kompetitif, sehingga masyarakat diberi pilihan antara calon tunggal atau kotak
kosong,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (4/12/2024).
Meskipun
sudah ada putusan MK Nomor 60 /PUU-XXII/2024 tentang Ambang Batas Pencalonan
Kepala Daerah di Pilkada, partai politik tidak juga memberikan alternatif
pilihan paslon yang sesuai dengan kehendak rakyat. Diketahui ambang batas
pencalonan partai politik semula harus memiliki 20 persen suara turun menjadi
6,5-10 persen suara.
“Ketika
partai politik tidak mampu menghasilkan alternatif calon yang layak,
kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik menurun. Hal ini memunculkan
anggapan bahwa partai lebih mengutamakan kepentingan elite daripada aspirasi
rakyat,” jelas dia.
Lebih
lanjut, Annisa mengatakan, calon tunggal sering kali merupakan hasil konsensus
atau koalisi besar yang mendominasi daerah tertentu, sehingga mengeliminasi
peluang kandidat independen atau alternatif. Partai politik, dalam hal ini
sering kali lebih memilih calon berdasarkan popularitas atau kedekatan dengan
elit, bukan kualitas atau kapasitas mereka.
Sedangkan
dari sisi masyarakat, kata Annisa, mungkin merasa calon tunggal tidak mewakili
aspirasi mereka, baik karena rekam jejak yang buruk, program yang kurang
relevan, atau persepsi bahwa calon tersebut hanya alat politik elite. Pada
akhirnya mulai memahami bahwa kotak kosong adalah alat demokrasi untuk
menyatakan ketidaksetujuan mereka secara sah.
“Pilihan
pada kotak kosong menunjukkan bahwa masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh
tekanan atau propaganda elite politik,” pungkas dia.
Sumber
: tirto.id
0 Comments