MAJALAHJURNALIS.Com (Langkat) -
Di tengah gempuran budaya digital dan gaya hidup modern, masyarakat Kwala
Begumit, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, tetap memelihara
tradisi sederhana yang kaya nilai kebersamaan. Setiap sore, terutama di akhir
pekan atau hari libur, warga lokal maupun pendatang menyempatkan waktu duduk di
tepi sawah untuk menikmati senja dan menanti kereta api melintas. Pemandangan ini menjadi rutinitas khas
warga setempat. Di jalur pematang sawah yang berbatasan langsung dengan rel
kereta api, keluarga-keluarga datang membawa tikar, makanan ringan, dan minuman
hangat. Mereka berkumpul sambil menikmati semilir angin sore dan panorama
langit jingga yang membingkai siluet perbukitan di kejauhan. Jon, salah seorang warga setempat,
mengaku kegiatan tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat
Kwala Begumit. “Sudah jadi kebiasaan kami di sini. Menjelang magrib,
duduk-duduk di pinggir sawah sambil menunggu kereta lewat. Sekalian bawa anak,
istri, atau tetangga. Suasananya damai,” ujar Jon saat ditemui, Selasa (22/7/2025). Ia menyebutkan waktu paling ideal
untuk menikmati suasana tersebut adalah pukul 17.00 hingga 18.30 WIB. Saat itu,
udara terasa lebih sejuk, cahaya matahari tidak terlalu menyengat, dan suasana
sekitar jauh dari kebisingan kota. “Kalau sudah jam segitu, anginnya
adem, langit juga cantik. Pas sekali buat bersantai. Sering juga kami bawa kopi
sendiri dari rumah,” tambahnya. Daya tarik utama yang dinantikan warga
adalah momen ketika kereta api melintas dari arah Kota Binjai menuju Stasiun
Kwala Bingai. Suara gemuruhnya dari kejauhan membangun antisipasi tersendiri
bagi pengunjung. “Bagi anak-anak, itu momen yang seru.
Sementara bagi kami orang tua, itu seperti jeda yang menyegarkan setelah
sepekan bekerja,” ungkap Jon. Selain sebagai ruang rekreasi
keluarga, jalur sawah di Kwala Begumit juga dimanfaatkan sebagai area olahraga.
Anton, warga lainnya, mengaku rutin berolahraga di lokasi tersebut setiap akhir
pekan. “Saya biasanya jogging pagi dan sore
hari di sini. Udara segar, pemandangan terbuka, dan yang paling penting tidak
terlalu ramai. Apalagi lokasinya dekat dari SMA Negeri 1 Binjai, jadi cukup
strategis,” ujarnya. Menurut Anton, suasana Kwala Begumit
mampu memberikan efek menenangkan. “Di tengah rutinitas kerja, tempat ini
semacam ruang jeda untuk bernapas. Cukup duduk, lihat sawah dan kereta lewat,
rasanya hati lebih lega,” katanya. Hal yang membedakan Kwala Begumit dari
destinasi senja lainnya adalah interaksi sosial yang tumbuh secara organik. Di
lokasi ini, pengunjung tidak larut dalam gawai, tidak sibuk mengunggah momen ke
media sosial. Sebaliknya, mereka hadir secara utuh: berbagi tawa, cerita,
bahkan keheningan. Ketika kereta melintas, deru mesinnya
menjadi penanda akhir dari sore yang damai. Sebagian warga mengabadikan momen
tersebut melalui foto, namun lebih sebagai kenangan personal daripada konten
daring. “Suara kereta itu seperti penutup
hari. Setelah itu, kami biasanya beres-beres lalu pulang. Tapi setiap pulang
dari sini, hati terasa penuh,” ujar Anton sambil tersenyum, usai berfoto
bersama istri dan anak-anaknya berlatar rel dan langit senja. Di tengah derasnya arus modernisasi
dan digitalisasi, Kwala Begumit menghadirkan pelajaran berharga: bahwa
kebahagiaan bisa ditemukan di tengah kesederhanaan. Sawah, langit senja,
semilir angin, dan suara kereta yang lewat menjadi harmoni alami yang tak
ternilai. Tradisi warga Kwala Begumit bukan
semata tentang menanti kereta, tetapi tentang meluangkan waktu untuk hadir
bersama orang-orang tercinta, menyatu dengan alam, dan menghargai detik-detik
kebersamaan. Sebuah kebiasaan yang bukan hanya layak dipertahankan, tetapi juga
dicontoh. (F/TN)
0 Komentar