Ticker

7/recent/ticker-posts

Juru Kunci Berjuluk Profesor Rimba, Dia Adalah Ibrahim Sang Penaluk Gunung Leuser

 

Juru Kunci Berjuluk Profesor Rimba, Dia Adalah Ibrahim Sang Penaluk Gunung Leuser

Ibrahim .@KataCayber


MAJALAHJURNALIS.Com (Subulussalam) - Diantara suara gemericik air dan rimbunnya pohon di Stasiun Penelitian Soraya, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh ada sosok yang namanya sudah tak asing lagi di telinga para peneliti dan pecinta alam. Ia adalah Ibrahim (62), pria sederhana dari Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara.
 
Selama 40 tahun Ibrahim mewakafkan hidupnya untuk menjaga dan mendalami rahasia keanekaragaman hayati di balik lebatnya Hutan Gunung Leuser di Aceh. Pengetahuannya yang luas tentang ribuan spesies flora dan fauna yang hidup di Leuser membuatnya dijuluki sebagai “Profesor Rimba”.
 
Ibrahim merupakan supervisor riset Forum Konservasi Leuser (FKL). Dia bukan lulusan universitas terkemuka. Pendidikan formalnya hanya tamat sekolah dasar (SD). Namun, julukan profesor disemat kepadanya karena ia memiliki pengetahuan luas tentang hutan yang menjadi sekolahnya mencari dan mendalami ilmu. Sosoknya yang rendah hati membuatnya dikagumi banyak orang.
 
"Saya bukan dari sekolahan, cuma (belajar) dari pengalaman saja," ujar Ibrahim.
 
Pengalaman bergelut dalam hutan dimulai pada 1986, ketika ia menjadi asisten peneliti asal California, Amerika Serikat yang mengamati orangutan di Ketambe, desa kecil yang menawan sekaligus pintu masuk ke Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara.
 
Sejak saat itu, hidupnya seolah terikat janji dengan hutan. Ia menemani peneliti dari berbagai negara dalam penelitian botani dan keanekaragaman hayati.
 
"Saya belajar dengan dari orangtua, dari senior-senior yang pernah bekerja di konservasi di Leuser ini," tambahnya.
 
Selama 4 dekade, Ibrahim telah menguasai ribuan jenis tumbuhan hutan. Ia mengenal siklus perkembangannya, dan mengetahui satwa apa saja yang memakan buah, daun, atau kulitnya. Baginya, cuaca hujan dan panas adalah pelajaran, setiap pohon adalah guru.
 
Ia mempelajari segala hal dari pengamatan, daun yang gugur, bahkan jejak yang ditinggalkan orangutan dan harimau sumatera.
 
"Setiap hujan dan panas adalah pelajaran. Setiap pohon adalah guru,"ungkapnya.
 
Kecintaan Ibrahim dengan alam bahkan mengantarkannya pada penemuan penting dalam dunia primatologi, yakni mengamati orangutan sumatera yang pertama kali tercatat menggunakan alat sederhana untuk makan.
 
"Saya sangat senang bekerja di bagian konservasi ini, kita bisa menjelajahi dari hutan Aceh, Sumatera, Lampung, dan Kalimantan, bahkan sampai ke Manado," kisahnya.
 
Perjuangan Pahit, Manis di Puncak


Ibrahim.@Beritasatu.com


Jalan pengabdian ini tak lepas dari tantangan berat. Ibrahim pernah harus tinggal di dalam hutan selama 3 bulan berturut-turut tanpa turun ke permukiman, dengan logistik yang di-drop dari luar.
 
"Pahitnya ya, pasti setiap perjuangan itu punya rintangan. Kadang-kadang kita mendaki tidak bisa masak karena tidak ada air, kadang-kadang habis bekal," kenangnya.
 
Ia menceritakan pengalaman ekstrem di pegunungan saat air sulit didapat. Bahkan pernah kami masak, ngutip air itu dari kantong semar (Nepenthes). Dikumpul sedikit-sedikit. Bahkan ada, disaring pakai kaos sepatu yang masih baru untuk air masak.
 
Namun, kenangan pahit itu selalu terbayar oleh kemanisan yang tak terlupakan. "Yang manisnya, sepertinya kita kalau sudah sampai ke hutan itu, sudah lihat alam, sudah, apalagi di puncak, hilang rasa capek itu. Apalagi hutannya kondisinya bagus, belum ada rusak," kenangnya.
 
Momen-momen indah seperti melihat anggrek langka, atau satwa yang belum pernah dilihat, menjadi penguat batinnya. Beruntung, ia selalu didukung penuh oleh keluarga. Menariknya, kecintaan ini juga menurun pada keluarganya tiga dari enam putranya kini juga bekerja di bidang konservasi.
 
"Kalau di bidang keluarga, sangat mendukung. Tidak ada kendala," katanya.
 
Bagi Ibrahim, menjaga hutan adalah masalah filosofi kehidupan. Ia melihat hutan sebagai paru-paru dunia dan penjaga peradaban manusia.
 
"Menjaga hutan itu sama artinya menjaga kehidupan. Sebab pohon yang dirawat, akan kembali melindungi manusia dari banjir dan longsor. Itulah filosofi yang saya pegang selama empat puluh tahun pengabdian," ungkapnya.
 
Ia merasakan kesedihan yang mendalam ketika melihat perambah dan pemburu satwa. Ia menjelaskan dampak perburuan yang kejam tidak hanya merusak populasi satwa, tetapi juga mengganggu keseimbangan ekosistem yang pada akhirnya merugikan petani.
 
"Kalau orang nangkap burung misalnya, burung kan makan serangga juga. Kalau sudah tidak ada lagi burung, serangga tentu menyerang tanaman petani. Kalau menjerat harimau, babi tambah banyak kan. Sehingga ke petani juga efeknya," jelasnya.
 
Pada usia 62 tahun, Ibrahim masih energik. Alih-alih beristirahat menikmati masa tua, dia kini aktif mewariskan ilmunya kepada staf muda di Soraya. Ini adalah cara Ibrahim agar cintanya pada hutan tidak berakhir di satu generasi. Bahkan, tiga dari enam putranya kini juga mengikuti jejaknya berkecimpung di dunia konservasi.
 
"Cintailah alam itu bagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Kita bisa menjaga satu pohon, pohon itu menjaga kita juga," pesannya.
 
Ibrahim, si penjaga Hutan Leuser, membuktikan dedikasi dan ketulusan hati jauh lebih berharga daripada selembar ijazah. Langkah sederhananya di rimba adalah pelajaran abadi tentang bagaimana manusia harus hidup berdampingan dengan alam.
Dikutip dari Beritasatu.com


Posting Komentar

0 Komentar