GEMAPATAS di Sumut, menghindar untuk meletakkan batas-batas tanah rakyat dan hak ulayat dengan batas-batas tanah negara maka jelas itu merugikan
MAJALAHJURNALIS.Com (Deliserdang) - Ketua HIPAKAD 63 Sumatera Utara Edi Susanto dan Ketua
Ikatan Keluarga Anak Melayu Serdang Ir. Abdullah Umar sepakat mendatangi dan mengirim surat ke Kementerian
ATR/Agraria dan jajarannya diwilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk mendesak
instansi pertanahan tersebut agar diletakkannya batas-batas Tanah Rakyat dengan
Tanah Negara, juga mempertanyakan tentang penghormatan Hak Ulayat serta meminta
informasi dan kejelasan atas klaim atas dasar sertifikat HGU (Hak Guna Usaha)
yang diberikan staf PTPN 2/1 pada warga. Kedua tokoh masyarakat
tersebut pada majalahjurnalis.com, Rabu (26/11/2025) saat dijumpai di Tembung Percut Sei Tuan, Deli Serdang,
mendesak Kementerian ATR/Agraria harus benar-benar
merealisasikan UUPA pada
masyarakat. GEMAPATAS (Gerakan Masyarakat
Pemasangan Batas) adalah langkah awal untuk Kementrian ATR/Agrariamewujudkan menjadikan tanah untuk Kemakmuran dan
Kesejahteraan Rakyat dan Ketahanan Negara. Diterangkan Edi
Susanto, menyatakan
kinerja jajaran Kementerian ATR/Agraria sudah jauh menyimpang dari UUPA
diantaranya;
UUPA tegas sudah menghapuskan
ketentuan DomeinVerklaring (segala
tanah yang tidak bisa dibuktikan adalah milik negara)produk Belanda namun masih saja ada
perampasan tanah dan hunian rakyat yang sudah puluhan tahun atas klaim itu
Tanah Negara tanpa menunjukkan atau menjelaskan Klaim Sertifikat Tanah Milik
Negara yang sebenarnya juga harus dimiliki aparat /instansi yang mengklaim
Tanah Milik Negara
Pengabaian Memori Penjelasan UUPA diantaranya; Menjadikan
tanah fungsi sosial ,menjunjung persamaan derajat,mengakui Eksistensi
Hak Ulayat,penghapusan
Domein Verklaring, melaksanakan Rerforma hubungan antar manusia (Indonesia)
dengan tanah (BAR/Bumi
Air Ruang Angkasa) yang menimbulkan ketimpangan sosial dan telah alat
penindasan jauh yang nyata jauh dari prinsip nasionalitas dimana orang asing
atau orang-orang yang memiliki dua kewarganegaraan tidak dibenarkan memiliki
tanah (BAR) apalagi memonopoli penguasaan tanah (BAR).
Masih menurut Edi
Susanto, bahwa
masyarakat masih mengalami hambatan dalam mendaftarkan tanahnya. Kementerian ATR/Agraria beserta
jajarannya juga masih belum melaksanakan, merealisasikan azas dan tujuan
pendaftaran tanah diantaranya ; Azas
sederhana,terjangkau
dan terbuka (transparan),
tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat serta tidak
mau melayani/enggan memberikan informasi, penjelasan bagi masyarakat yang
berkepentingan bahkan sengaja menutupi informasi dan menolak, permintaan
masyarakat untuk meletakkan batas-batas tanah rakyat dengan batas-batas tanah
negara sesuai amanatketentuan PP Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah beserta Peraturan Pelaksanaannya yakni Permeneg
Agraria nomor 3 tahun 1997. Ditambahkan
Abdullah Umar, akibat arogansi, ketidakterbukaan
jajaran Kantor Wilayah
Pertanahan Provinsi Sumatera Utara dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Deli
Serdang, Binjai, Langkat akhirnya puluhan tahun rakyat walau memiliki alas hak
dengan sangat mudah ditindas, diintimidasi, digebuki bahkan dikeroyok oleh
Pemkab/Kota Deli Serdang, Binjai, Langkat bahkan melibatkan aparat Polri dan
TNI serta preman dalam merampok merampas menghancurkan tanah, sawah/ladang
berikut huniannya..Istilah mereka Okupasi padahal itu Jenis Persekusi karena
Tanpa sosialisasi dan Alas Hak Atas Tanah atau Gunakan Alas Hak Yang tidak
Otentik sementara alas hak atas tanah rakyat sama sekali Tidak Diperhatikan atau Tidak
Diperdulikan. Jajaran Kantor
Wilayah Pertanahan Sumut dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Deli Serdang,
Binjai ,Langkat juga melakukan perilaku diskriminasi yakni
Enggan
menerima permohonan rakyat yang memiliki alas hak dan atau sudah menghuni
puluhan tahun atas tanahnya untuk meminta meletakkan batas-batas tanah dengan
alasan-alasan sesuka hatinya seperti harus bayar SPS, pelepasan aset, uang
nominatif, bayar hak ke perdataan, PPH, BPHTB, uang ukur, uang peta bidang
macamlah, sementara hasil investigasi Hipakat 63 dan Ikatan Keluarga Anak
Melayu Serdang bahwa PTPN 2/1 memakai tanah puluhan ribu hektar dengan Sertifikat
HGU Aspal/Cacat Administratif dan tidak diklasifikasikan sebagai sebuah Akta
Otentik, tanpa bayar Uang Pemasukan ke
Kas Negara dan atau tanpa Rekomendasi dari Kementerian Agraria terlihat di halaman
2 huruf d sertifikat HGU.
Apakah ini
suatu pembiaran yang sengaja atau sudah atas Izin Restu Presiden Cq Kementerian
Agraria yang sengaja bermain mata dengan jajaran Kantor Wilayah Pertanahan
Sumut dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota Deli Serdang, Binjai, Langkat
,dan juga bersama-sama elite-elit daerah?
Kembali
dikatakan Edi Susanto yang sangat vokal, jika Kementerian ATR/Agraria dan
jajarannya Kanwil Pertanahan Sumut serta Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota
Deli Serdang, Binjai, Langkat serta Kabupaten/Kota lainnya enggan merealisasikan
GEMAPATAS di Sumut, menghindar untuk meletakkan batas-batas tanah rakyat dan
hak ulayat dengan batas-batas tanah negara maka jelas itu merugikan yakni :
Negara,
karena pihak Perusahaan Perkebunan Negara dan atau Swasta sangat mungkin
menggunakan Tanah Negara ribuan bahkan puluhan ribu hektar tanpa sertifikat HGU
tanpa rekomendasi Menteri ATR/ Agraria dan tanpa membayar Uang Pemasukan ke Kas
Negara bahkan tanpa membayar PBB dan bisa saja meng- K.S.O /Menyewa nyewakan
bahkan melego pada Pihak Lain dengan secara gelap yang bisa merugikan negara
puluhan atau ratusan milyar bahkan trilyunan.
Oleh karenanya
Kantor Pertanahan Wilayah Propinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
harusnya transparan , terbuka atas penggunaan tanah oleh Perusahaan Perkebunan
Negara atau Swasta yang menggunakan tanah dengan TIDAK MEMBAYAR UANG PEMASUKAN
ke KAS NEGARA. Selanjutnya
pastilah merugikan Rakyat karena rakyat mudah dieksploitasi, dijadikan korban
perampasan oleh pihak Perusahaan Perkebunan Negara atau Swasta bersama elit-elit
Daerah dengan dalih ada sertifikat HGU walaupun aspal/cacat atau nyata-nyata di
luar HGU/tak ada HGU dengan dalih kepentingan negara, pada hal Rakyat sudah
memiliki alas hak atau sudah menghuni puluhan tahun tapi tetap saja dengan
mudah dikeroyok dirampas tanahnya oleh pihak perkebunan negara yang berkolaborasi
dengan Aparat Polri dan TNI serta elit-edit daerah dan saat menuntut ya diperas
bayar SPS, Uang Nominatif, Hak Keperdataan, Uang Ukur, Uang Peta Bidang.(Sudah
dirampok lalu diperas lagi).
Apakah kantor
Wilayah Pertanahan di Sumut dan Kantor Pertanahan di Kab/Kota benar-benar
melaksanakan program GEMAPATAS oleh
Kementerian ATR/Agraria? Kami tidak
akan berhenti memperjuangkan tanah rakyat dan Hak Ulayat karena tanah adalah sebagai
ruang hidup turun temurun kami dan sebagai faktor produksi/alat pemenuhan
kebutuhan untuk kelangsungan kehidupan keluarga, ditambah Umar. “Kita lihat
dan amati, apakah masih ada nurani dan Kemanusiaan elit-elit pusat pada rakyat
didaerah atau elit-elit daerahkah yang sudah menjadikan rakyatnya objek
kekuasaan”, hal itu ditegaskan Edi mengakhiri komentarnya. (TN)
0 Komentar