Ticker

7/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Keberatan Wacana PPN Pendidikan, SPK Indonesia Surati Nadiem dan Sri Mulyani

 

Ketua Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia, Haifa Segeir. (Foto: Istimewa)

MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) - Perkumpulan Sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK) Indonesia menyurati Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani serta Direktorat Jenderal Pajak terkait dengan wacana dikenakannya pajak pertambahan nilai (PPN) pada sekolah internasional atau berdasarkan Permendikbud Nomor 31 Tahun 2014 disebut sebagai Satuan SPK.

Berdasarkan keterangan pers diterima Beritasatu.com, Sabtu (18/9/2021), surat tersebut ditandatangani oleh Haifa Segeir, selaku ketua Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia.

Dalam surat tersebut, Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia menyatakan keberatan dan penolakan atas pengenaan PPN pada satuan pendidikan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, pengenaan PPN kepada institusi pendidikan tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2), yakni Ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Kemudian, Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Haifa Segeir menegaskan, berdasarkan hal tersebut sudah sepatutnya pemerintah mendorong meratanya akses pendidikan berkualitas untuk semua kalangan. Menurutnya, dengan mengenakan PPN akan membuat pendidikan berkualitas menjadi semakin tidak terjangkau semua kalangan dan tidak memberikan hak warga negara untuk mendapatkan akses atas pendidikan berkualitas.

“Perlu kami informasikan di sini bahwa sebagian besar siswa-siswi yang bersekolah di SPK adalah siswa- siswi warga negara Indonesia. Hanya sebagian kecil SPK yang memiliki siswa-siswi asing yang lebih banyak daripada siswa-siswi warga negara Indonesia,” kata Haifa Segeir.

Kedua, SPK merupakan satuan pendidikan yang berada dalam sistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 Ayat (1) Permendikbud 31 Tahun 2014. Dalam hal ini, SPK wajib memenuhi 8 standar nasional pendidikan dan secara berkala menjalani proses akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN). Oleh karenanya, asumsi bahwa SPK bukan dalam sistem pendidikan nasional adalah salah dan harus diluruskan.

Ketiga, SPK merasa sangat didiskriminasikan dalam banyak kebijakan pemerintah termasuk di dalamnya pengecualian penerimaan dana BOS, pengecualian atas diberikannya tunjangan profesi atas para guru SPK. Apalagi saat ini diwacanakan untuk dikenakan pajak yang lebih tinggi dibandingkan satuan pendidikan lainnya.

“Hal ini menimbulkan keprihatinan yang sangat mendalam bagi kami karena pada kenyataannya tidak seluruh satuan pendidikan kerja sama mengenakan biaya ratusan juta rupiah atau mampu secara finansial terutama di masa pandemi seperti sekarang. Bahkan banyak sekali SPK yang mengenakan biaya jauh di bawah sekolah swasta nasional dan guru-gurunya masih menerima gaji di bawah guru-guru sekolah negeri,” papar Haifa Segeir.

Ia menilai ditiadakannya beberapa bantuan atau subsidi pemerintah dan biaya retribusi untuk tenaga kerja asing juga fasilitas penunjang yang harus disediakan oleh SPK. Dengan muatan kurikulum internasional yang ditawarkan yang menjadikan biaya beberapa sekolah SPK berbeda dengan sekolah-sekolah swasta lainnya.

“Namun pada prinsipnya SPK tetap berkomitmen untuk memberikan pendidikan berkualitas dunia kepada anak-anak bangsa dan memberikan kontribusi terhadap pendidikan negeri sebagaimana diminta oleh pemerintah baik melalui program pengimbasan maupun partisipasinya dalam program Guru Penggerak,” ujarnya.

Keempat, pengenaan PPN akan menambah beban SPK sebagai satuan pendidikan yang harus mandiri secara finansial dengan tidak menerima bantuan atau subsidi dalam bentuk apapun dari pemerintah, meskipun SPK berorientasi nirlaba.

Haifa Segeir menuturkan, hal ini secara otomatis juga akan sangat memberatkan orang tua siswa yang dengan sangat terpaksa akan juga merasakan kenaikan biaya yang tidak pernah diinginkan karena biaya operasional sekolah hanya bersumber dari kontribusi orangtua.

“Tingkat pendapatan orang tua pada SPK berbeda-beda. Tidak semua orang tua mampu membayar dalam jumlah yang sama. Selain itu SPK juga banyak memberikan keringanan biaya bagi siswa yang kurang mampu dan beasiswa kepada siswa berprestasi,” tukasnya.

Kelima, SPK mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah dalam upayanya memulihkan ekonomi. Sebab keberadaan SPK secara langsung membantu peningkatan investasi asing dan devisa negara.

“Salah satu pertimbangan penting masuknya investasi asing oleh investor berdasarkan data yang kami terima dari beberapa kamar dagang asing adalah tersedianya pendidikan berkualitas internasional di lokasi investasi,” kata Haifa Segeir yang kini menjabat sebagai Ketua Yayasan di SPK New Zealand School Jakarta.

Ia menambahkan, kehadiran SPK juga memberi opsi agar para siswa ingin belajar di sekolah internasional tidak perlu lagi pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan berkualitas dunia, maka dengan demikian meningkatkan devisa negara.

Pada akhir surat tersebut, Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia berharap ada asas keadilan dengan tidak mengenakan PPN kepada institusi pendidikan yang berbentuk badan usaha nirlaba atau yayasan secara keseluruhan tanpa memandang status maupun kategori dari institusi tersebut.

“Apabila badan hukum pendidikan diputuskan harus juga dikenakan PPN maka seyogianya hal ini diterapkan tanpa diskriminasi dan dengan mempertimbangkan jumlah pendapatan dan pengeluaran yayasan,” ucapnya.

Ia menjelaskan, hal tersebut sejalan dengan prinsip pajak penghasilan di mana pihak yang memiliki penghasilan rendah akan dikenakan pajak yang rendah dan pihak yang memiliki penghasilan tinggi akan dikenakan pajak yang lebih tinggi.

“Hal ini tentunya akan dirasakan lebih adil dibandingkan dengan konsep diskriminasi yang selama ini sangat kental dilekatkan pada sekolah-sekolah SPK,” ucapnya.

“Besar harapan kami bapak/ibu dapat memberikan kesempatan kepada kami untuk berdialog dan mendengar apa yang menjadi aspirasi kami. Kami mohon agar surat ini dapat dijadikan pertimbangan dengan memperhatikan dampak serius yang akan dirasakan oleh pendidikan negeri ini,” tutupnya.

Surat tersebut juga ditembuskan ke Presiden Joko Widodo, Komisi X DPR, dan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).

(Sumber : Beritasatu.com)

Post a Comment

0 Comments