MAJALAHJURNALIS.Com –Dalam karya tulis
ini, saya mencoba membedah kasus-kasus yang terjadi terhadap pekerja maupun
terhadap intimidasi kepada Buruh. Kita masih ingat
tentang saudara kita yang mengalami musibah kecelakaan kerja di Tanjung Balai –
Asahan, Provinsi Sumatera Utara. Yang mana suaminya berkerja
disalah satu perusahaan meninggal dunia, namun uang PHK-nya belum kunjung
diberikan pihak perusahaan kepada pihak keluarga yang ditinggalkan, sehingga
keluarga binggung mau mengadu kemana? Karena pesangonnya belum juga diberikan. Begitu juga yang
terjadi di Perusahaan Air Minum, soal lembur kerja. Sampai-sampai para pekerjanya
demo menuntut hak lemburnya. Sejak tahun 2016
sampai 2022 begitu cukup lama, namun belum tak ada realisasinya, pihak Perusahaan
Air Minum tutup mata dan telinga begitu juga dengan Departemen Tenaga Kerja
(Depnaker)-nya. Begitu juga terjadi dialami
beberapa pekerja dari Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI). Pelanggaran
Ketenagakerjaan yang dilakukan Perusahan dan dilaporkan ke Depnaker. Tetapi hasilnya
masih tanda kuitp ‘bisa baik’ dan ‘bisa juga tidak’. Kenapa? Hal ini bisa sedemikian
rupa karena Hukum Ketenagakerjaan itu tergantung pada Perusahan apakah mau menerima
anjuran dari Dinas Tenaga Kerja atau tidak. Yang sangat
menyedihkan lagi, ketika hak buruh sedang diperjuangkan, nasib Pengurus Serikat
Pekerjanya yang turut memperjuangkan menggalami Intimidasi atau di PHK sepihak
tempat pengurus buruh itu bekerja. Koq bisa? Padahal sesuai
Undang-Undang Ketenagakerjaan, Buruh bebas berserikat (berorganisasi) untuk
memperjuangkan hak-haknya. Namun pihak perusahaan selalu mencari-cari celah
untuk mem-PHK buruh yang menuntut haknya. Sementera peran
pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja tumpul ketika buruh berteriak minta
perlindungan hak. Lalu Buruh harus
bagaimana? Buruh juga punya tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup keluarganya. Buruh selalu
dijadikan kambing hitam disaat-saat dunia usaha melemah dan juga disaat-saat buruh
menuntut hak-hak normatif serta perlindungan dalam pekerjaaannya. Apakah benar
Undang-Undang Ketenagakerjaan itu murni melindungi Buruh? Terlalu banyak peraturan, terlalu banyak
Undang-Undang, tetapi selalu saja menguntungkan pihak perusahaan seperti merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2003 atau UU Ketenagakerjaan, outsourcing adalah penyerahan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain (subkon) Jadi kami harus
bagaimana, jika hal ini terjadi? Haruskah kami diam, sementara hak-hak buruh
terinjak-ijak oleh pengusaha dan penguasa. Kami pekerja bukan
berarti kami dijadikan budak pengusaha. Pilihan itu ada pada
Pekerja dan Buruh itu sendiri. Apakah mau berjuang atau diam di tempat. Mari
kita bersatu menentang kedzoliman ini.
(Penulis adalah Ketua Bidang Hubungan
Antar Lembaga di Dewan Pimpinan Wilayah Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia
Sumatera Utara-DPW PPMI Sumut)
0 Komentar