Prof Syamsul Maarif Foto/Ist
MAJALAHJURNALIS.Com (Semarang) - Guru
Besar UIN Walisongo Semarang, Prof Syamsul Maarif menjelaskan bahwa ada urgensi
yang dirasakan dan mendasari penerapan moderasi beragama.
Konsep ini dianggap
dapat menjembatani segala bentuk kekakuan sosial di tengah masyarakat akibat
radikalisasi pemikiran dan agama.
Sikap yang
moderat dalam beragama terbukti menjadi pemecah dalam kebuntuan komunikasi dan
konsolidasi antara kelompok masyarakat dengan beragam latar belakang.
Sikap moderat
ini dalam ajaran Islam seringkali disebut dengan istilah wasathiyah, atau
dikenal dengan moderasi beragama.
Sementara di
pihak lain, radikalisme senantiasa dihembuskan oleh pihak-pihak yang cenderung
menyukai kekerasan sebagai pilihan dalam mencapai tujuannya.
“Mereka yang
terpengaruh dengan radikalisme dan terorisme tentu ingin memporak-porandakan
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)," kata Syamsul Maarif dalam
keterangannya, dikutip Senin (25/12/2023).
Dia menyebut
kelompok semacam ini ingin menghancurkan tatanan masyarakat yang telah
terbangun dengan baik dan berdasar pada kearifan lokal.
"Dasar
negara yang selama ini kita yakini adalah hasil dari founding fathers serta
berdasarkan pada filosofi para leluhur bangsa, sehingga pada dasarnya Indonesia
lebih mengedepankan harmoni, cinta kasih, kepedulian, dan mutual respect kepada
siapapun tanpa ada batasan tertentu,” terangnya.
Menurutnya,
moderatisme atau sikap moderat adalah suatu cara pandang yang harmonis dan
mengutamakan kedamaian antar makhluk Tuhan.
Moderatisme
sendiri bukanlah mazhab baru ataupun bid'ah seperti yang dituduhkan oleh banyak
pihak.
Justru esensi
dari agama itu sendiri yang berada pada titik kesimbangan yang berada di tengah
semua individu terlepas apapun latar belakangnya.
Konsep moderasi
beragama, lanjut Syamsul, sesungguhnya berada dalam koridor dan ketentuan hukum
agama, serta tidak sedikitpun menyeleweng dari ketentuan Tuhan. Bahkan bisa
dikatakan bahwa ketika semakin memegang prinsip-prinsip ajaran Tuhan, umat akan
memiliki cara pandang yang tawazun (bijaksana dan seimbang), ta’adul (adil),
dan tasamuh (toleran dan saling menghormati).
Oleh karena
menjadi cara pandang yang mengedepankan kesatuan dan kesetaraan di tengah
keanekaragaman, moderatisme menjadi jalan untuk memahami bahwa keanekaragaman yang
ada adalah kehendak Allah.
Pada saat yang
bersamaan, sikap yang moderat menjadi kekuatan untuk kembali kepada Allah.
“Moderasi
beragama adalah cara yang paling arif dan bijaksana untuk mencari titik temu di
antara berbagai perbedaan keimanan. Sikap ini memandang bahwa semua orang,
terlepas dari perbedaan pemikiran, orientasi, dan cara pandangnya, pada
akhirnya kembali kepada esensi yang sama, yaitu menjadi makhluk Allah yang
menerima kodrat penciptaannya,” ungkap Syamsul.
Ia menambahkan
bahwa kebutuhan akan pemahaman moderasi beragama juga tidak terlepas dari
maraknya ideologi transnasional yang disebarkan dan menyelinap masuk dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Bahaya laten
dari pemahaman ini adalah terkikisnya sikap toleransi terhadap keberagaman,
bahkan bisa menihilkan budaya asli Indonesia yang sebetulnya sarat dengan pesan
kebijaksanaan dan kebaikan. Dia menilai, radikalisme yang berbasis pada agama
tertentu sebenarnya berakar dari gerakan ideologi.
Maka dari itu,
perlawanan yang sesuai adalah dengan menghadapinya melalui kontra ideologi yang
efektif dan holistik, serta mengedepankan rasionalitas.
“Agama dan
budaya bisa diibaratkan sebagai jangkar yang berfungsi menahan arus pembawa
ideologi transnasional agar tidak menghanyutkan insan Indonesia dalam pengaruh
negative,” tuturnya.
Akademisi yang
pernah menulis buku “Radikalisme dan Terorisme: Perspektif Pendidikan Islam”
pada tahun 2020 ini menambahkan bahwa dalam ajaran Islam, terdapat hadis yang
indah mengenai makna muslim yang hakiki.
Hadis itu yakni
"al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi," yang
berarti “seorang muslim sejati adalah yang dapat menyelamatkan muslim lainnya
dari lisan dan tangannya (perbuatannya).”
Hadits ini
menekankan pentingnya menjaga ucapan dan perilaku kita agar tidak menyakiti
orang lain.
“Perilaku,
ucapan, dan bahkan pikiran kita, semuanya merefleksikan kedalaman keyakinan dan
penghambaan kita kepada Allah. Setiap ucap dan laku memiliki konsekuensinya,
dan kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya kelak.
Kecenderungan
alamiah, perbuatan, dan keinginan hati kita, semuanya harus selaras dengan
ajaran agama demi mewujudkan penghambaan yang hakiki kepada Tuhan Yang Maha
Esa,” imbuh Syamsul.
Oleh karena itu,
dia mengajak kepada seluruh umat beragama agar berhati-hati dalam tutur kata
dan perbuatan.
Setiap individu
di Bumi Pertiwi selayaknya bisa menjadi sosok yang menyebarkan kebaikan,
menghindari keburukan, dan senantiasa menjaga keharmonisan sesama masyarakat.
“Karena itulah wujud sejati keimanan yang dicintai Allah,” tandasnya.
Sumber : SINDOnews.com
0 Comments