Ticker

7/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pertanda Apa Ini? Pembeli Mobil Listrik 80 Persen Bayar Kontan

 

Pengamat menyebut tren pembelian kendaraan listrik yang 80 persen masih dilakukan kontan menunjukkan program belum bersahabat dengan semua warga RI. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim).

MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) - Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengeluh soal penyaluran kredit untuk kendaraan listrik.
 
Maklum, hingga kini tingkat penyaluran masih sangat minim. Ia mengatakan sekitar 80 persen transaksi pembelian mobil listrik dilakukan secara kontan alias tidak mengutang.
 
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Oktober 2023, pembiayaan dari perusahaan leasing untuk kendaraan listrik masih di kisaran 0,01 persen dari total pembiayaan.


"Pembelian EV (electric vehicle) ini masih 80 persen tuh orang di tunai. Jadi permintaan untuk pembiayaan (kredit mobil listrik) masih belum" kata Suwandi dalam konferensi pers di Park Hyatt, Jakarta Pusat, Selasa (5/3/2024).


Suwandi mengungkap minimnya penyaluran pembiayaan itu terjadi karena mayoritas pembeli kendaraan listrik adalah masyarakat berada. Mereka sejatinya memiliki dana dan hanya membeli kendaraan listrik untuk sekadar mencari pengalaman baru atau mencoba saja.
 
"Pembeli EV hari ini tuh kebanyakan memang orang-orang, yang paling tidak dia cukup dananya. Dan kedua, dia mau first experience," ujarnya.
 
Faktor lain, harga kendaraan listrik masih relatif mahal. Hal itu tentu berbanding terbalik dengan segmentasi pasar perusahaan pembiayaan merupakan masyarakat menengah ke bawah.
 
"Dan kendaraan yang kita biayai itu rata-rata sekitar Rp200 juta-an atau yang kita kenal dengan LCC (Low-Cost Green Car)," jelas Suwandi.


Lalu adakah pertanda penting dari fenomena ini?
 
Direktur Center of Economic and Law (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan besarnya persentase pembeli kendaraan listrik dengan skema kontan menunjukkan bahwa mobil listrik bukan kebutuhan utama untuk sebuah kendaraan.
 
"Jadi mobil listrik belum menjadi kebutuhan utama," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
 
Menurutnya, pembelian secara kontan biasanya dilakukan oleh orang kaya. Hal ini terbukti dari pemilik mobil listrik memang orang yang sudah memiliki kendaraan berbahan bakar BBM.
 
"Kalau cash dominan artinya pembeli mobil listrik adalah golongan orang kaya. Di garasi sudah punya mobil BBM tapi mobil listrik dijadikan kendaraan kedua," jelasnya.
 
Selain itu, pemilik kendaraan listrik biasanya memang menjadikan mobil tersebut menjadi tunggangan saat bepergian saja. Ini semakin menekankan bukan keperluan kendaraan yang prioritas.
 
"Pembeli mobil listrik biasanya menjadikan kendaraan BBM buat harian, sementara mobil listrik buat dipakai pada saat jalan-jalan akhir pekan," kata Bhima.
 
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) penjualan wholesales mobil listrik di Indonesia sepanjang 2023 tercatat 15.716 unit. Jauh di bawah target pemerintah terjual 200 ribu unit per tahun.

 
Sementara, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan peminat mobil listrik masih golongan tertentu karena harganya yang mahal. Artinya, program kendaraan listrik yang dicanangkan pemerintah untuk memperbaiki mutu lingkungan belum bersahabat dengan semua golongan masyarakat Indonesia.
 
"Bahkan setelah banyak insentif pun harga masih terbilang mahal. Jadi memang saat ini, kendaraan listrik baru di konsumsi kalangan tertentu, terutama kalangan berada, sebagai kendaraan kedua dan oleh perusahaan-perusahaan untuk bisnis," jelasnya.


Ronny menilai tidak mudah menggenjot penjualan mobil listrik terutama untuk masyarakat kelas menengah. Sebab, selain harga mahal, ekosistemnya pun belum terbentuk, terutama dari sisi infrastrukturnya.
 
Menurutnya, untuk menggenjot penggunaan mobil listrik, insentif dari pemerintah saja tidak cukup. Tapi harus dibarengi dengan infrastruktur yang baik.
 
Misalnya, terlebih dahulu membangun stasiun pengisi daya (charging station) di banyak tempat. Langkah ini dilakukan oleh China dan terbukti sangat ampuh.
 
"Nah, karena di China saat ini telah berhasil membangun charging station lebih dari dua juta, yang dibangun oleh pemerintah dan perusahaan produsen mobil, maka penjualan kendaraan listrik langsung meledak," jelasnya.


Ronny mengatakan awalnya penjualan mobil listrik di China juga seret. Kemudian pemerintah menetapkan kebijakan dengan cara mewajibkan beberapa provinsi untuk menggunakan bus listrik untuk transportasi publiknya.
 
Namun, kebijakan itu juga tidak berhasil meningkatkan penjualan mobil listrik secara signifikan. Lalu, China melakukan riset dan menemukan adanya persoalan range anxiety atau kecemasan pengemudi mobil listrik kalau kendaraannya mati sebelum sampai tujuan.
 
"Hasil riset di China menunjukkan bahwa salah satu motivasi orang membeli kendaraan listrik adalah adanya jaminan keberadaan charging station di banyak lokasi. Jadi range anxiety adalah ketakutan kalau baterai habis di tengah jalan. Makanya dibangun banyak charging station," jelasnya.
 
Oleh sebab itu, Ronny menekankan selain insentif pemerintah untuk pembelian kendaraan listriknya, sangat perlu juga untuk membangun banyak infrastruktur utamanya.


"Insentif dari pemerintah hanya sebagian kecil dari faktor yang akan mendorong peningkatan penggunaan kendaraan listrik," kata Ronny.
 
Selain itu, ia juga menyarankan agar produsen pembuat mobil listrik di Indonesia memberikan harga yang lebih terjangkau. Serta, perbankan menawarkan skema pembiayaan mobil listrik lebih masih dan menarik.
 
"Selain insentif untuk membuat harganya bisa menjadi lebih affordable, juga diperlukan penyiapan infrastruktur untuk kendaraan listrik, terutama ketersediaan charging station secara luas dan skema pembiayaan pembelian kendaraan listrik yang menarik dan terjangkau dari perbankan," pungkasnya.
Sumber : CNN Indonesia

Post a Comment

0 Comments