Ticker

7/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Refleksi Dana Desa 10 Tahun di Nagajuang Mandailing Natal, Jadilah ‘Tukkot Di Dalan Nalandit’

 



Pengelolaan Dana Desa di Kecamatan Nagajuang Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Provinsi Sumatera Utara mengibaratkan “Jauh Panggang dari Api”


MAJALAHJURNALIS.Com (Madina) – Pelaksanaan Undang- Undang Desa (UU) Nomor 6/2014 tentang Desa memasuki tahun ke 10. Keberadaan Undang-Undang Desa sangat bermakna bagi para warga desa sebagai role model pembangun untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan kesejahteraan bagi warga desa.
 
Melalui UU Desa Nomor 6/2014 menjelaskan Dana Desa merupakan alokasi dana yang diterima oleh Pemerintah Desa dari APBN yang ditujukan khusus desa.
 
Penggunaan dana desa memiliki beberapa prioritas dan tujuan yang harus dipatuhi setiap desa. Selain itu pengelolaan keuangan desa diatur oleh PP Menteri desa, pembangunan tertinggal dan transmigrasi Nomor 7 Tahun 2021.
 
Implementasi UU Desa Nomor 6/2014 terkadang tidak sesuai apa yang diharapkan oleh masyarakat bahkan memunculkan polemik dengan pengelolaannya.
 
Hal ini menjadi perhatian aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Mukhtar Hakim Harahap, SH (foto) kepada Majalahjurnalis.com, Selasa (9/6/2024) di Nagajuang,
 
Ia menilai Pengelolaan Dana Desa di Kecamatan Nagajuang Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Provinsi Sumatera Utara mengibaratkan “Jauh Panggang dari Api” sesuatu yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang diekspektasikan, tentu hal ini tidak terjadi begitu saja pasti ada faktor lain yang mempengaruhinya.
 
Menurut Alumni Mahasiswa Universitas Sunan Kalijaga ini RKPdeslah yang menjadi rujukan untuk menyusun anggaran pendapatan dan belanja desa yang harus dijalankan oleh Kepala Desa sebagaimana disepakati di Musyawarah Desa oleh Badan Permusyawaratan Desa (PBD), tokoh masyarakat dan juga Karang Taruna Desa atau Persatuan Naposo Nauli Bulung (PNNB).
 
Masih dikatakan Mukhtar yang juga Sekretaris Persatuan Naposo Nauli Bulung (PNNB) Kecamatan Nagajuang. Ia menyampaikan meningkatnya laporan masyarakat terkait Dana Desa disebabkan antara lain: dugaan tidak transpransi, mark-up, fiktif, proyek tidak sesuai kebutuhan, tidak sesuai aturan dalam pengelolaan Dana Desa oleh oknum Kepala Desa.
 
Contoh mengenai transpransi sebagaimana diataur Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Public (KIP), coba kita perhatikan desa-desa mana saja sejauh ini yang membuat semacam spanduk mengenai program-program pembangun desa, apakah sudah sesuai dari hasil RKPdes yang telah disepakati bersama.
 
Mirisnya ada beberapa program yang disepakati malah tidak ditunaikan dan anehnya program yang tidak dibahas dalam rapat RKPdes malah menjamur seolah program prioritas.
 
Selain itu, Alumni Mustafawiyah ini juga menilai praktek pengelolaan Dana Desa belum maksimal dari waktu ke waktu sampai hari ini bahkan lebih parah saat ini, banyaknya program titipan atau program siluman menggorogoti Dana Desa terlebih program siluman hanya terkesan seremonial saja kurang efektif manfaatnya. Praktek hal semacam ini sudah bisa kita baca apa dari maksud semua ini dan siapa yang paling diuntungkan.
 
Perlu saya sampaikan dari kacamata hukum praktek semacam ini bisa saja bentuk dugaan korupsi sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998 tantang tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
 
Kepada Kepala Desa juga jangan terlalu gegabah atau tergiur Fee dari hitung-hitungan program semacam ini, karena kita tidak tahu apa yang terjadi kedepannya yang pasti kepala desa tersebutlah yang akan dimintai pertanggung jawaban.
 
Banyak hal yang mesti diperbaiki untuk Nagajuang mulai dari Pengelolaan BUMDES, tata kelola pemerintahan (Pemilihan BPD secara langsung), evaluasi penerimaan bantu sosial terutama BLT dan lain-lain.
 
Mahasiswa yang saat ini mengambil Advokasi di Universitas Islam Indonesia meminta kapada Camat Nagajuang Rahmad Riski Ramadhan agar kiranya bisa menjadi Pembina yang baik sekaligus mentor kepada Kepala Desa yang ada di Kecamatan Nagajuang untuk Pengelolaan Dana Desa yang lebih baik kedepannya. Istilah ni halak hita Jadilah ‘Tukkot Di Dalan Nalandit’.
 
Sebagai alumni hukum Tata Negara melihat Undang-Undang Desa Nomor 6/2014 yang dibuat sudah sangat bagus untuk dipedomi tinggal praktenya yang harus diperbaiki bersama khususnya Kepala Desa sebagai pemangku kebijakan tertinggi di desa. (Royyan)

Post a Comment

0 Comments