Plt
Juru Bicara KPK Ali Fikri. ©2021 Antara
MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
siap mengembangkan kasus dugaan suap pengelolaan dana hibah di Provinsi Jawa
Timur. Pengembangan dilakukan berdasarkan beberapa temuan yang menjadi bukti
dalam penggeledahan maraton di Jawa Timur.
Beberapa lokasi yang digeledah tim penyidik yakni ruang
kerja Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa, ruang kerja Wakil
Gubernur Jatim Emil Elistianto Dardak, ruang Sekretaris Daerah Adhy Karyono,
Gedung Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), serta Gedung Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jatim.
"Kemarin kami melakukan
penggeledahan secara maraton di Jawa Timur, dari situ hasilnya sudah cukup
banyak yang bisa dikembangkan," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam
keterangannya, Kamis (5/1/2022).
Ali mengatakan pengembangan kasus ini akan dilakukan
dengan mengonfirmasi sejumlah barang bukti yang ditemukan saat penggeledahan
kepada para saksi. Rencananya, KPK akan memulai memeriksa saksi kasus ini pada
pekan depan.
"Harapannya tentu kami kembangkan segala data dan
informasi, siapa pun nanti yang mengetahui perbuatan dari para tersangka ini
pasti dikembangkan, termasuk substansiya," kata Ali.
KPK menetapkan Wakil Ketua DPRD Jawa
Timur (Jatim) Sahat Tua P Simandjuntak (STPS) sebagai tersangka kasus dugaan
suap dalam pengelolaan dana hibah provinsi Jatim.
Selain Sahat, KPK juga menjerat tiga tersangka lainnya,
yakni Rusdi selaku Staf Ahli Sahat, Kepala Desa Jelgung Kecamatan Robatal
Kabupaten Sampang sekaligus selaku Koordinator Kelompok Masyarakat (Pokmas)
Abdul Hamid, dan Koordinator Lapangan Pokmas bernama Ilham Wahyudi alias Eeng.
KPK menyebut, untuk tahun anggaran 2020 dan 2021 dalam
APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya
sekitar Rp7,8 triliun kepada badan, lembaga, hingga organisasi kemasyarakatan
(ormas) yang ada di Pemprov Jatim.
Distribusi penyalurannya antara lain melalui Kelompok
Masyarakat (Pokmas) untuk proyek infrastruktur hingga sampai tingkat pedesaan.
Terkait pengusulan dana belanja hibah tersebut merupakan penyampaian aspirasi
dan usulan dari para anggota DPRD Jatim, salah satunya adalah Sahat.
Sahat menawarkan diri membantu dan memperlancar
pengusulan pemberian dana hibah tersebut dengan adanya kesepakatan pemberian
sejumlah uang sebagai uang muka alias ijon. Kemudian Abdul Hamid menerima
tawaran tersebut.
Diduga Sahat mendapat bagian 20 persen dari nilai
penyaluran dana hibah yang akan disalurkan sedangkan Abdul Hamid mendapatkan
bagian 10 persen. Adapun besaran nilai dana hibah yaitu di tahun 2021 dan 2022
telah disalurkan masing-masing sebesar Rp40 miliar.
Agar alokasi dana hibah untuk tahun 2023 dan 2024 bisa
kembali diperoleh Pokmas, Abdul Hamid kemudian kembali menghubungi Sahat dan
sepakat menyerahkan sejumlah uang sebagai ijon sebesar Rp2 miliar.
Realisasi uang ijon tersebut dilakukan pada Rabu (13/12)
di mana Abdul Hamid melakukan penarikan tunai sebesar Rp1 miliar dalam pecahan
mata uang rupiah di
salah satu Bank di Sampang dan kemudian menyerahkannya pada Eeng untuk dibawa
ke Surabaya.
Eeng pun menyerahkan uang Rp1 miliar tersebut pada Rusdi
sebagai orang kepercayaan Sahat di salah satu mal di Surabaya. Setelah uang
diterima, Sahat memerintahkan Rusdi menukar uang Rp1 miliar tersebut di salah
satu money changer dalam bentuk pecahan mata uang SGD dan USD.
Rusdi kemudian menyerahkan uang tersebut pada Sahat di
salah satu ruangan yang ada di gedung DPRD Provinsi Jawa Timur. Sedangkan sisa
Rp1 miliar yang dijanjikan Abdul Hamid akan diberikan pada Jumat (16/12/2022).
Diduga dari pengurusan alokasi dana hibah untuk Pokmas, Sahat telah menerima
uang sekitar Rp5 miliar.
Atas perbuatannya, Abdul Hamid dan Eeng sebagai penyuap
disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara Sahat dan Rusdi sebagai penerima disangka
melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau b Jo Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sumber : Merdeka.com
0 Komentar