Pimpinan
MPR RI bersama keluarga Soeharto (Liputan6.com/Ady Anugrahadi)
MAJALAHJURNALIS.Com
(Jakarta) - Nama Presiden Soeharto dihilangkan
dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Hal ini setelah usulan
dari Fraksi Partai Golkar disetujui oleh pimpinan MPR.
Penyerahan
surat jawaban Pimpinan MPR kepada pihak keluarga Presiden ke-2 RI, Soeharto
dilaksanakan pada Sabtu (28/9/2024).
Plt
Sekertaris Jendral MPR, Siti Fauziah menerangkan, penghapusan nama Presiden
Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tanpa mencabut ketetapan MPR
Nomor XI/1998.
"Ketetapan
MPR Nomor XI/MPR/1998 yang merupakan Ketetapan MPR yang dinyatakan masih
berlaku sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003
tentang peninjauan terhadap Materi dan status hukum ketetapan MPRS san MPR
tahun 1960 sampai dengan tahun 2022 yang menyatakan Tap XI/MPR/1994 termasuk
dalam kategori TAP MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
undang-undang," kata dia kepada wartawan, Sabtu (28/9/2024).
Fauziah
mengatakan, undang-undang pelaksana dari TAP XI/MPR/1998 yaitu Undang-Undang
Nomo 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam
Pasal 34, terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara maka
penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan
untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Fauziah
mengatakan, Kejaksaan Agung kemudian menggugat Soeharto secara perdata dan
beberapa Yayasan Soeharto, salah satunya Yayasan Supersemar.
Hasilnya,
pengadilan melalui berbagai putusan mulai Putusan Pengadilan Negeri (PN) sampai
putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung pada 2015 menyatakan Yayasan
Supersemar terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan amar
putusan mengharuskan Yayasan Supersemar membayar kerugian kepada negara, namun
sampai saat ini baru dibayarkan sebagian kepada negara.
Sudah Selesai
Fauziah
mengatakan, upaya hukum yang dilakukan kepada mantan Presiden Soeharto secara
pribadi sudah selesai dilakukan dengan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan untuk memberikan kepastian hukum kepada mantan Presiden Soeharto,
melalui Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan/SKPPP pada tahun 2006
oleh Kejaksaan Agung sesuai pasal 140 ayat (1) KUHAP, serta Keputusan Mahkamah
Agung nomor 140 PK/Pdt2015 karena alasan penyakit permanen yang diderita
Soeharto pada waktu itu.
"Bahwa,
pada tanggal 27 Januari 2008 Bapak Soeharto telah meninggal dunia dan sesuai
ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa Kewenangan
menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia," ucap dia.
Atas
hal itu, maka materi muatan dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XIMPR/1998 yang
secara eksplisit menyebutkan nama Mantan Presiden Soeharto dalam perbuatan
melawan hukum melakukan tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme secara
pribadi dengan ini dinyatakan sudah dilaksanakan.
"Namun
tidak termasuk terhadap perkara-perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme lainnya
yang disebutkan dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998," ucap dia.
Kepastian Hukum
Sementara
itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Bambang Soesatyo
menerangkan, surat balasan atas usulan Fraksi Golkar pada pokoknya adalah
menjelaskan posisi hukum kedudukan Suharto yang sudah dilaksanakan.
"Pada
prinsipnya fraksi Partai Golkar MPR menyampaikan bahwa ketetapan MPR Nomor 11
Tahun 1998 tentang negara-negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan
nepotisme khususnya Pasal IV secara eksplisit yang menyebut nama mantan
Presiden Suharto agar dinyatakan sudah dilaksanakan tanpa mencabut ketetapan
itu," ucap dia.
Dia
mengatakan, dari serangkaian fakta hukum yang mengemuka, pada akhirnya bermuara
kepastian hukum bagi mantan Presiden Soeharto.
Antara
lainnya, dengan terbitnya surat ketetapan perintah penghentian penuntutan atau
SKP3 pada tahun 2006 oleh Kejaksaan Agung, sesuai dengan ketentuan Pasal 140
Ayat 1 KUHP dan terbitnya Mahkamah Agung nomor 140 PK/Pdt2015 serta dengan
telah kepulangannya beliau mantan Presiden Soeharto pada tanggal 27 Januari
2008. Jadi sudah dilaksanakan," ucap dia. Dengan mempertimbangkan berbagai
fakta hukum diatas maka MPR bersepakat terkait dengan penyebutan nama mantan
Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998, secara diri pribadi.
"Bapak
Haji Muhammad Suharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan. Hal ini juga
tercermin dari adanya pandangan ahli fraksi dan kelompok DPD RI serta telah
disampaikan dalam pidato dalam sidang paripurna MPR RI di akhir masa jabatan
2019-2024 pada tanggal 25 September 2024," ucap dia.
Sumber : Liputan6.com
0 Comments