MAJALAHJURNALIS.Com
(Labura) - Nelayan kecil dan tradisional di
Labuhanbatu Utara (Labura) menghadapi ancaman serius akibat semakin maraknya
penggunaan Pukat Tarik Dua (trawl) yang beroperasi secara ilegal di perairan
mereka. Aktivitas
trawl ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak ekosistem laut
serta menghilangkan ruang tangkap nelayan kecil. Situasi
ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Labura (18/10/2024). Kegiatan ini
menghadirkan pakar sebagai Narasumber antaralain Prof. Dr. Ir. Mohammad Imron,
M.Si, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Rani Septyarini, SE,
peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios). Prof.
Imron menjelaskan bahwa Permen KP No. 36 Tahun 2023 jelas melarang penggunaan
alat tangkap trawl atau sekarang disebut Jaring Hela Berkantong di zona tangkap
nelayan kecil. Nelayan dengan alat tangkap Jaring Hela Berkantong dengan ukuran
kapal 10 GT ke atas diizinkan dioperasikan di Jalur III atau 12 mil ke atas
dengan ukuran mata jaring di kantong 2 inchdan harus dilengkapi TED di bagian badan jaring nya. Namun, pelanggaran
tetap terjadi secara masif. "Kapal-kapal trawl beroperasi bahkan di bawah
5 mil dari garis pantai, yang jelas-jelas melanggar hukum dan mengorbankan hak
nelayan kecil untuk mendapatkan ruang tangkap yang aman," tegasnya. Diskusi
ini juga mengangkat dampak sosial dan ekonomi yang sangat signifikan bagi
nelayan tradisional di Labura. Rani Septyarini menyatakan, "Kehidupan
nelayan kian terjepit. Mereka kehilangan sumber pendapatan akibat aktivitas
trawl yang mendominasi perairan. Nelayan kecil tidak lagi mendapatkan hasil
tangkap yang mencukupi, sementara biaya operasional mereka terus
meningkat."
Miftahul
Khausar, pengurus pusat KNTI yang hadir sebagai fasilitator, dengan keras
mendorong pemerintah untuk bertindak. "Jika pemerintah tidak segera
menertibkan kapal trawl ini, nelayan kecil akan terus terpinggirkan. Nelayan
hidup dari laut, tetapi jika ruang tangkap mereka terus dirampas, bagaimana
mereka bisa bertahan? Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga
pelanggaran hak hidup nelayan," ujarnya dengan penuh penekanan. Ketua
DPD KNTI Labura, Syahrial Ulong lanjut menegaskan bahwa nelayan tradisional
Labuhanbatu utara mendesak pemerintah provinsi Sumatera Utara dan Pemda
Labuhanbatu Utara untuk segera melakukan tindakan nyata terhadap masalah ini.
Penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Tindakan tegas dan terukur
diperlukan untuk menghentikan aktivitas trawl yang merusak wilayah tangkap
nelayan kecil dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut. KNTI
juga menuntut adanya patroli rutin dan penegakan hukum yang lebih efektif di
perairan Labura. Jika pemerintah terus lamban dalam merespons, dampaknya akan
sangat luas, bukan hanya bagi nelayan, tetapi juga bagi keberlanjutan sumber
daya laut di wilayah tersebut. Di
akhir kegiatan, FGD ini menghasilkan kesepakatan bersama bahwa keadaan ini
harus diselesaikan secara komprehensif melalui beberapa tindakan. Pertama,
edukasi dan sosialisasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk meningkatkan
kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem laut dan mematuhi peraturan. Kedua,
pembinaan intensif harus diberikan kepada para pelanggar yang terus berulang,
agar mereka dapat beralih ke praktik yang lebih sesuai dengan aturan. Ketiga,
penegakan hukum yang tegas dan pengawasan ketat harus dilaksanakan untuk
memastikan kepatuhan terhadap aturan. Keempat, patroli rutin oleh pemerintah
dan aparat terkait sangat diperlukan untuk mencegah pelanggaran yang berkelanjutan.
Terakhir, Sanksi
tegas* harus diberikan kepada pelanggar, mulai dari pencabutan izin hingga
pemidanaan jika pelanggaran memenuhi unsur pidana. (rel/AH)
0 Comments