Bima
Arya Sugiarto.@CNN
Indonesia/Farid
MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) - Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) akan menerapkan pemungutan suara secara elektronik alias e-voting
pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
"Jadi nanti ketika pilkades
gelombang selanjutnya sudah jelas, Kemendagri akan memaksimalkan penggunaan e
voting di seluruh Pilkades," kata Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya
Sugiarto dalam acara Proklamasi Democracy Forum yang dihelat Partai Demokrat di
Jakarta, Senin (19/5/2025).
Bima menyebut mekanisme itu sudah
diterapkan di 1.700 desa sebelumnya. Ia mengatakan gelaran Pilkades di 1.700
desa itu berjalan dengan aman dan kondusif.
"Tadinya banyak yang enggak
percaya. Tapi kemudian ketika para kandidat itu melihat 'wah sistem ini membuat
lapangan rata' enggak ada intervensi, maka semua mendukung," ujarnya.
Bima menjelaskan mekanisme pemungutan
suara itu pun dibantu dengan teknologi yang digagas oleh BRIN.
Ia menyebut penerapan itu dapat
menekan anggaran untuk pilkades.
"Touch screen kemudian di print
dan hard copy dimasukkan ke kotak suara, satu diambil oleh si voters,
lancar," ucap dia.
Perludem
Usul Hapus Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah
Pada forum yang sama Dewan Pembina
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengusulkan
penghapusan ambang batas pencalonan Kepala Daerah.
Ia menyampaikan itu dalam konteks
dibatalkannya pasal di UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden
alias presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.
"Penghapusan ambang batas
pencalonan Kepala Daerah kalau di nasional, presiden dihapus, kenapa di kepala
daerah harus dipertahankan padahal eksekutif nasional adalah referensi untuk
eksekutif daerah," kata Titi.
Titi juga mengusulkan penyelenggaraan
pemilu nasional dengan lokal dijeda selama dua tahun.
"Yang kami usulkan adalah model
keserentakan pemilu nasional memilih DPR, DPD, dan Presiden secara bersamaan
pada satu hari yang sama. Kemudian pemilu serentak lokal memilih DPRD dan
kepala daerah di hari yang sama, tapi jeda antara serentak nasional dan lokal
itu dua tahun," kata dia.
Titi menjelaskan jeda dua tahun itu
untuk mencegah praktik borong kekuasaan yang berpotensi terjadi ketika pemilu
serentak nasional dan lokal digelar berdekatan.
Ia menyebut saat pemilu nasional dan
lokal digelar di tahun yang sama, akan ada praktik 'pemaksaan' koalisi nasional
yang membuat partai kehilangan identitasnya.
"Selain itu adalah agar ada
korelasi antara pencalonan kepala daerah dengan penguatan kelembagaan partai di
daerah," ujarnya.
Sumber : CNN
Indonesia
0 Komentar