Gambar: Ahmad
Saroni, Nafa Urbach, Uya Kuya dan Eko Patrio.@Kompas.com/Issha Haruma
MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) - Sejumlah partai resmi menonaktifkan anggotanya dari
kursi DPR per Senin (1/9/2025) setelah menjadi sasaran kemarahan publik.
Sejumlah
anggota DPR itu sebelumnya melontarkan pernyataan dan menampilkan sikap yang
dianggap melukai hati rakyat.
Langkah ini
diambil sebagai bentuk respons atas kecaman publik dan aksi demo yang
berlangsung beberapa hari lalu.
Lantas, apa
perbedaan status DPR yang nonaktif dan dipecat?
Beda Status DPR Nonaktif dan Dipecat
Anggota DPR
yang dinonaktifkan tidak memiliki status yang sama dengan dipecat.
Status
nonaktif berarti anggota DPR untuk sementara waktu tidak menjalankan tugas dan
kewenangan sebagai wakil rakyat hingga ada keputusan lanjutan.
Status
nonaktif pada anggota DPR sama dengan pemberhentian sementara.
Artinya, Ahmad
Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir tidak kehilangan statusnya
sebagai anggota DPR. Mereka masih tercatat sebagai anggota dewan aktif.
Lantaran masih
anggota dewan aktif, mereka juga tetap berhak menerima gaji serta fasilitas
keuangan lainnya.
Hal ini sesuai
pada Pasal 19 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Dalam Pasal 19
ayat 4, disebutkan bahwa anggota yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan
hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak tersebut
tidak hanya berupa gaji pokok, melainkan juga berbagai tunjangan.
Berdasarkan
Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, tunjangan yang
dimaksud meliputi tunjangan istri/suami, anak, jabatan, kehormatan, komunikasi,
hingga tunjangan beras.
Pemecatan DPR Melalui Mekanisme Lebih Panjang
Sementara,
pemecatan berarti pencabutan permanen status keanggotaan di DPR yang biasanya
melalui mekanisme lebih panjang dan melibatkan partai politik pengusung maupun
keputusan resmi lembaga legislatif.
Di Indonesia,
presiden dan DPR sesuai konstitusi memiliki kedudukan yang sejajar sebagai
lembaga negara.
Keduanya
merupakan mitra yang tidak dapat saling menjatuhkan. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan presiden tidak dapat
membekukan dan/atau membubarkan DPR.
Selain itu,
presiden juga tidak bisa memberhentikan anggota DPR dan tidak memiliki
kewenangan untuk memecat anggota DPR.
Namun, pemberhentian
anggota DPR bisa diusulkan oleh ketua umum partai politik dan sekretaris
jenderal kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada presiden.
Dikutip dari
Kompas.com (13/10/2020), sejumlah alasan yang menyebabkan anggota DPR dapat
diberhentikan, seperti:
- Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai anggota selama tiga bulan berturut-turut tanpa
keterangan apa pun.
- Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik.
- Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
- Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum
anggota DPR, DPD, dan DPRD.
- Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
- Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau,
- Menjadi anggota partai politik lain.
Pemberhentian
anggota sebagaimana dimaksud dalam poin ketiga, empat, tujuh, dan delapan
diusulkan oleh ketua umum partai politik dan sekretaris jenderal kepada
pimpinan DPR dengan tembusan kepada presiden.
Presiden
kemudian akan meresmikan pemberhentian anggota DPR tersebut.
Selain alasan
itu, pemberhentian akan didasarkan pada putusan Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD).
MKD akan
menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan mengenai
pemberhentian tersebut.
Sumber:
Kompas.com
0 Komentar