Wakil Ketua
DPR Cucun Ahmad Syamsurizal.@Antara Foto/Erlangga Bregas Prakoso.
MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) - DPR RI dijadwalkan bakal menggelar rapat paripurna
pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi
undang-undang pada Selasa (18/11/2025).
Wakil Ketua
DPR, Cucun Ahmad Syamsurizal mengatakan pimpinan DPR telah menggelar rapat
pimpinan dan menjadwalkan pengesahan RKUHAP pada paripurna besok.
"Kan
sudah tingkat satu. Udah jadi. Tadi juga rapim udah. Dijadwalkan," kata
Cucun di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (17/11/2025).
Sebelumnya,
Panitia Kerja (Panja) RKUHAP di Komisi III DPR menyepakati RUU tersebut dibawa
ke paripuna untuk disahkan menjadi undang-undang.
Kesepakatan
tersebut diambil dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I di Komisi III DPR,
Kamis (13/11/2025).
Rapat dihadiri
perwakilan pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Wakil
Menteri Hukum Edward Sharif Omar Hiariej atau Eddy Hiariej.
Sebanyak
delapan atau seluruh fraksi di Komisi III DPR dalam rapat menyetujui RKUHAP
segera disahkan menjadi undang-undang dalam paripurna terdekat.
Sebagian
fraksi kompak menilai RKUHAP harus segera diperbarui karena sudah berusia 44
tahun sejak kali pertama disahkan pada 1981 era Presiden Soeharto.
Ada sejumlah
substansi dalam perubahan KUHAP melalui revisi tersebut. Antara lain,
penyesuaian hukum acara pidana dengan KUHP baru, perbaikan kewenangan
penyelidik, penyidik dan penuntut, penguatan hak-hak tersangka dan terdakwa,
hingga penguatan peran advokat.
"Kami
meminta persetujuan kepada anggota Komisi III dan pemerintahan apakah naskah
RKUHAP dapat dilanjutkan pada pembicaraan tingkat dua, yaitu pengambilan
keputusan atas RKUHAP yang akan dijadwalkan pada rapat paripurna DPR terdekat,
Setuju?" kata Ketua Komisi III DPR Habiburokhman yang memimpin rapat
tersebut.
"Setuju,"
jawab peserta rapat kompak.
Keberatan Koalisi Masyarakat Sipil, Merasa Dicatut
Di sisi lain,
koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas sejumlah tokoh hingga organisasi
nonpemerintah yang concern pada persoalan terkait RKUHAP itu pun bersuara
keras. Dalam konferensi pers bersama pada Minggu (16/11/2025), mereka menilai
pembahasan RKUHAP masih cacat, baik secara formil maupun materiil, sehingga
didesak tak dibahas di tingkat paripurna untuk disahkan jadi undang-undang.
"Jadi
kami melihat dari beberapa yang kami sebutkan secara substansi masih sangat
bermasalah. Oleh karenanya, kami mendesak kepada Presiden Republik Indonesia
untuk mengingatkan legislator, mengingatkan wakil pemerintah yang membahas RUU
KUHAP ini untuk kemudian menghentikan proses pembahasannya," ujar Wakil
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana.
Bukan hanya
itu, sejumlah elemen dalam koalisi juga merasa dicatut pembuat undang-undang,
padahal yang disampaikan tak seperti masukan masyarakat sipil.
Masalah yang
dimaksud Arif di antaranya menyoroti proses rapat Panitia Kerja (Panja) RUU
KUHAP yang berlangsung pada 12-13 November 2025.
Pada rapat
tersebut, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan pasal yang diklaim
berasal dari masukan koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan YLBHI, Lembaga
Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia Judicial Research Society (IJRS),
Lembaga Bantuan Hukum APIK, Lokataru Foundation, Indonesian Legal Resource
Center (ILRC), Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas dan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI).
"Pertama,
pada Rapat Panja tersebut pemerintah dan Komisi III DPR RI mempresentasikan
beberapa bunyi pasal-pasal yang mereka klaim sebagai masukan dari berbagai
organisasi masyarakat sipil yang merupakan bagian dari koalisi," katanya.
"Namun
sebagian masukan yang dibacakan dalam rapat Panja tersebut ternyata tidak
akurat dan bahkan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan
masukan-masukan yang kami berikan melalui berbagai kanal, antara lain melalui
rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau melalui penyerahan draf RUU KUHAP
tandingan atau dokumen masukan lainnya kepada DPR dan Pemerintah,"
sambungnya.
Oleh karena
itu, mereka menilai rapat panja RKUHAP itu sebuah orkestrasi kebohongan untuk
memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah selaku pembuat undang-undang telah
mengakomodasi masukan.
"Padahal,
ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukkan pasal-pasal
bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil," katanya.
Selain itu,
koalisi juga menyoroti pembahasan RKUHAP yang sangat singkat dan tidak
substansial. Pembahasan terbaru disebut tidak menunjukkan perubahan
dibandingkan dengan draf pada Juli 2025.
Koalisi ini
mengeluarkan somasi terbuka kepada Presiden, DPR, Kementerian Hukum, dan
Kementerian Sekretariat Negara.
Sumber : CNN
Indonesia
0 Komentar