Aksi
Pelanggaran HAM. merdeka.com
MAJALAHJURNALIS.Com
(Aceh Utara)
- Sudah 24 tahun peristiwa penembakan massal di simpang KKA, Aceh Utara,
berlalu. Hingga saat ini, tragedi tersebut masih terus diingat sebagai salah
satu kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh yang belum juga tuntas.
Peristiwa yang lebih dikenal dengan Tragedi Simpang KKA itu terjadi pada 3
Mei 1999 silam.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Aceh, Azharul Husna, mengatakan belum terwujudnya pemenuhan hak korban maupun
keluarga korban peristiwa Simpang KKA hingga 24 tahun lamanya, adalah bentuk
kelalaian dan pengabaian negara.
Kendati telah terbit Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim
Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu,
tim ini hanya bekerja selama tiga bulan.
Tidak lama kemudian, pemerintah pusat kembali menerbitkan Inpres Nomor 2
Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial
Pelanggaran HAM Berat.
"Apakah janji pemulihan melalui Inpres 2/2023 ini terlambat? Terlambat
adalah satu hal, serius adalah hal paling penting. Jangan sampai pemulihan
korban hanya dari Perpres ke Perpres saja tanpa tindakan nyata," kata
Azharul Husna kepada merdeka.com, Rabu (3/5/2023).
Husna menuturkan, pernyataan Presiden Joko Widodo disebutkan bahwa Perpres
tersebut salah satunya mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak terulang lagi.
Namun ini justru menuai kejanggalan dalam praktiknya.
"Jika pelanggaran HAM yang berat ini tidak diselesaikan secara
berkeadilan, salah satunya tidak ada pengungkapan kebenaran dan tidak pernah
ada efek jera bagi pelaku, maka kuat dugaan ini melanggengkan impunitas,
sehingga pelanggaran HAM bakal terus terjadi karena memang tak pernah
diselesaikan dengan tuntas," ujar Husna.
Di sisi lain, KontraS Aceh juga mendesak Pemerintah Indonesia harus melihat
kekhususan Aceh, terutama keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
Aceh, sebagai mekanisme penyelesaian non-yudisial yang diakui.
"Harmonisasi terkait pemulihan, termasuk alokasi anggaran baik di
kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah untuk pemulihan sebagaimana
Inpres No 2 tahun 2023 hendaknya tak hanya untuk 12 kasus pelanggaran HAM masa
lalu yang disebutkan dalam Keppres, tetapi juga bagi korban pelanggaran HAM
yang pernyataannya telah diambil oleh KKR Aceh," ungkapnya.
Tanpa penyelesaian yang menyeluruh, ujar Husna, janji upaya pemulihan
korban hanya bakal menuai masalah laten di kemudian hari, terlebih korban dalam
banyak kasus pelanggaran HAM Berat di Aceh sampai saat ini belum terpenuhi
hak-haknya.
"Momentum 24 tahun peringatan tragedi Simpang KKA harusnya jadi
pengingat bahwa korban masih terus berjuang untuk penyelesaian pelanggaran HAM
masa lalu yang berkeadilan dan bermartabat, bukan hanya separuh hati,"
pungkasnya.
Sumber : Merdeka.com
0 Comments