MAJALAHJURNALIS.Com (Jakarta) - Pemerintah membentuk Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan
Otonomi Khusus Papua. Komite itu diketuai oleh Velix Wanggai dengan dibantu
sembilan anggota. Mereka dilantik Presiden RI Prabowo Subianto pada Rabu (8/10/2025)
kemarin. Mensesneg Prasetyo Hadi menyebut pembentukan komite
khusus ini untuk membantu kerja Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua
(BKP3) yang diketuai Wapres Gibran Rakabuming Raka sebagaimana amanat UU Otsus
Papua. "Yang hari ini dilantik adalah ketua dan anggota
dari komite eksekutif tersebut yang akan bantu kerja badan pengarah yang
diketuai Wapres," kata Pras di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (8/10/2025). Usai dilantik, Velix menyebut pembentukan komite itu
karena Prabowo ingin komite tersebut dapat mengelola secara khusus agenda
pembangunan di Papua. Dalam waktu dekat, Velix akan melakukan konsolidasi
kebijakan dan strategi di Papua. Terlebih Papua kini memiliki enam provinsi
yang memerlukan keterpaduan dalam segala aspek. "Karena tentu kita ingin dengan kehadiran 6
provinsi, ini membutuhkan langkah-langkah dan maksud besar itu langkah-langkah
percepatan," ujarnya. Peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN Cahyo Pamungkas
berpendapat komite eksekutif ini berpotensi tumpang tindih atau overlapping
dengan BKP3. Meskipun pemerintah menyebut komite eksekutif ini
merupakan lembaga perbantuan bagi BKP3 dan secara hukum tidak tumpang tindih. Namun, jika melihat komposisi anggotanya, Cahyo
khawatir kedua lembaga itu justru tumpang tindih dan menghadapi dualisme. "Secara politik ada potensi tumpang tindih, karena
orang-orang di komite khusus ada pensiunan tentara/polisi. Kemudian politisi,
dan birokrat," kata Cahyo kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/10/2025). Cahyo pun menyinggung 'celah' pasal di UU Otsus yang
bisa dijadikan landasan komite eksekutif ini berdiri, yakni Pasal 68A ayat (3). "Untuk mendukung pelaksanaan tugas badan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk lembaga kesekretariatan yang
berkantor di Papua," bunyi Pasal 68A ayat (3). Ia menyoroti nomenklatur dari lembaga tersebut,
perbedaan antara Kesekretariatan dengan Komite Khusus. Cahyo berpendapat UU Otsus mengamanatkan pembentukan
kesekretariatan yang secara umum menjalani fungsi teknis belaka. "Kalau kesekretariatan itu sebetulnya,
fungsi-fungsi teknis, yang seperti sekretariat jenderal di DPR ini adalah
fungsi-fungsi untuk melayani BKP3, saya tidak yakin komite khusus ini, hanya
melayani BKP3," ucap dia. "Dia mungkin juga, punya agenda khusus, yang bisa
sama, bisa berbeda, dengan BKP3 itu, itu analisis saya sendiri," imbuhnya. Berlandaskan itu, Cahyo pun melihat potensi dualisme
kelembagaan antara BKP3 dengan komite eksekutif. Ia mempertanyakan apakah pembentukan komite eksekutif
memang untuk melemahkan BKP3. "Apakah tujuan dari komite ini adalah untuk
mengatasi bottleneck ya, masalah pembangunan dan otonomi khusus di Papua?"
ucapnya. Komposisi Anggota Jadi Sorotan Selain itu, Cahyo juga menyoroti komposisi anggota
yang menggawangi komite tersebut. Pertama, Cahyo menyoroti tiga anggota yang merupakan
purnawirawan TNI/Polri, yakni eks Pangdam Cendrawasih Letjen Purn. Ignatius
Yogo Triyono, Komjen Purn. Paulus Waterpauw selaku eks Kapolda Papua sekaligus
eks Pj Gubernur, dan Letjen Purn Ali Hamdan Bogra yang merupakan eks Pangdam
Kasuari. Ia mengatakan kehadiran purnawirawan ini menimbulkan
kekhawatiran pemerintah masih akan menggunakan pendekatan konservatif dalam
menangani persoalan di Papua. "Peningkatan dialog untuk mengatasi konflik
Papua. Dengan kehadiran para purnawirawan ini, ya tentu saja ada kekhawatiran,
menimbulkan kekhawatiran bahwa pemerintah masih mempertahankan
pendekatan-pendekatan konservatif untuk mengatasi persoalan Papua," ujar
dia. Namun di sisi lain menurutnya bisa saja keberadaan
mereka itu guna memudahkan komunikasi dari komite eksekutif ini dengan pihak
militer dan kepolisian di Papua. Lalu, Cahyo juga menyoroti keberadaan politisi di
dalam komite eksekutif tersebut. Menurutnya, akan lebih baik jika komite tersebut diisi
oleh birokrat yang non partisan. Ia mengatakan bahwa politisi pasti membawa kepentingan
politiknya masing-masing. "Seharusnya tidak politisi, ya, [melainkan] orang
yang tidak partisan, orang yang memiliki kredibilitas, bisa diterima oleh semua
pihak ya," ucapnya. Pentingnya Pendekatan Dialogis Terpisah, pakar kebijakan publik Universitas Pamulang,
Cusdiawan berpesan kepada pemerintah sekaligus Komite eksekutif tersebut agar
tidak menggunakan pendekatan militeristik dalam menangani masalah di Papua. Ia meminta pemerintah agar mengedepankan pendekatan
dialogis. "Yang perlu dilakukan oleh komite tersebut adalah
mendorong dan mengedepankan penanganan masalah konflik Papua tadi dengan
pendekatan dialogis," ujar Cus. Cus menyatakan komite ini takkan berarti apa-apa jika
pendekatan yang digunakan negara masih cenderung militeristik. Ia mengatakan pendekatan militeristik hanya akan
menghasilkan dendam sejarah yang berkepanjangan. "Yang bukan hanya bisa memakan korban sipil
tetapi juga aparat itu sendiri, dan dapat terus menaikkan eskalasi konfliknya,
alih-alih meredamnya," katanya. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa dalam pendekatan
dialogis itu persoalan di Papua harus didekati melalui dua aspek, yakni politik
redistribusi dan politik rekognisi. Ia menyatakan bahwa politik redistribusi ini
menyangkut akan kesejahteraan di Papua, sedangkan politik rekognisi ialah
perihal pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak kultural. "Kita harus ingat, bahwa isu marjinalisasi
terhadap Papua selama ini bukan hanya menyoal ketimpangan, tetapi juga
diskriminasi terhadap budaya," ucap dia. "Pandangan di atas, mengandung implikasi bahwa
negara pun perlu mengoreksi dan atau mengevaluasi berbagai program kebijakan
yang bisa meminggirkan dua aspek tersebut," imbuhnya. Ia pun mencontohkan misalnya dalam kebijakan proyek
strategis nasional yang memangkas hutan adat masyarakat Papua, hal itu justru
kontradiktif dengan yang dicita-citakan lewat Otsus sendiri. Menurutnya peminggiran terhadap hak ekonomi dan
kultural, terlebih lagi tanah bagi masyarakat adat bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan materiil hidup, tetapi juga bernilai secara spiritual, hanya akan
menghasilkan krisis legitimasi yang semakin besar dari masyarakat Papua
terhadap negara. "Jadi selama ini, baik pada kepemimpinan
pemerintahan sebelumnya maupun hingga hari ini, ada pola pendekatan yang salah
dalam menangani masalah Papua, dan diperlukan evaluasi secara kritis dan
terukur untuk mengatasi masalah tersebut," ujar dia. Sumber : CNN Indonesia
0 Komentar